Kamis, 29 Desember 2011

Senyum Dina

 “copeeet.....copeettt !!!” teriak seorang ibu di tengah Pasar Minggu sambil menunjuk dua bocah yang bisa ditebak kalau merekalah pencopetnya.
“haaahh ketahuan lagi deehhh,  kamu masih kuat lari dim?”  tanyaku yang udah ngos-ngosan.
“gak tau din, aduuhh aku capek nih” jawab Dimas yang gak kalah ngos-ngosan sambil urut-urut dada.
            Yah, aku adalah pencopet, tapi temanku Dimas tidak.Beginilah kalau bumi hanya dirakusi oleh om-om, tante-tante yang ‘katanya’ bekerja untuk rakyat. Merasa paling berjasa atas kesejahteraan rakyat, lalu bagaimana denganku dan sahabatku ini?
Akupun tak tau, aku masih 15 tahun, sekeras apapun aku berteriak toh siapa aku ? Jika aku membaca koran, lebih tepat hanya headline news nya saja, aku sudah bisa menebak berapa lama berita itu akan bertahan dan berganti dengan topik yang sama namun dengan aktor yang berbeda. Ibuku selalu mengingatkan agar aku berhenti mencopet, karna aku akan jadi pemimpin besar nantinya. Ntahlah, aku masih 15 tahun.
“sudah aman, Dim.” Kuhentikan langkahku di sebuah gubuk dekat sekolah.
“syukur syukur..klo saja kita tertangkap tadi, habislah kita Din!”Dimas coba mengatur nafasnya kembali.
Dimas ini bukan pelari tangguh, bukan pula pencopet handal, tapi yang jelas dia sahabatku yang paling setia menemaniku. Apalagi menemaniku berlari-lari seperti tadi. Kadang aku kasihan dengannya, sebenarnya orangtuanya tidak suka kalau dia bermain denganku, tapi apa daya, aku juga sahabatnya yang paling setia.
“ayo kita hitung penghasilan hari ini!” Ajakku kepada dimas.
“tunggu, biar aku yang hitung” jawabnya.”seratus ribu, din ! wah banyak sekali !”
“benarkah ? wah makan enak kita nih. Tapi kita harus setor dulu ke bang jarot.”
“ini sudah aku sisihkan, dua puluh ribu kan?.” Dimas memisahkan uang yang harus disetor. Sebenarnya kurang, ak harus menyetor lima puluh ribu tiap harinya. Tapi aku berbohong kepadanya, karena aku tahu dia tidak akan terima jika aku menyetor sebanyak itu.Yah pencopet jarang ada yang kerja sendiri, aku adalah salah satu anak buah bang jarot. Setiap dua hari sekali aku harus menyetor uang hasil copetku kepadanya. Begitulah peraturannya.
Aku pun pergi bertemu bang jarot, tapi tidak bersama dimas.
“Cuma segini? Plak !” teriak bang jarot kepadaku ya sambil menampar keras pipiku. Ini biasa terjadi, yah hampir setiap aku menyetor. Makanya aku tidak mengajak Dimas, dia pasti tak akan tega melihatku dikasari seperti ini.
“Maaf bang, tadi aku ketahuan dan di kejar-kejar, makanya aku tidak berani melanjutkan.”Jawabku sambil meringis menahan rasa sakit.
“Haa bodoh kau !! pergi sana ! besok kau haru setor lebih banyak lagi, klo tidak awas !!” Ia kembali berteriak-teriak kepadaku. Sebenarnya bukan hanya kepadaku saja, teman-teman ku yang lain juga ikut kebagian mendengar teriakannya.
Akupun keluar dari tempat gelap, bau dan penuh dengan aura kepasrahan di dalamnya. Hah pipiku pasti merah lagi. Kini aku menyusuri pinggiran rel kereta api menuju gubuk indah tempatku dan ibu melewati skenario kehidupan. Terlalu ramai di sini, tapi ya ini lebih baik, aku tidak merasa sendiri menjadi orang yang harus merasakan getir pahitnya kehidupan. Berbeda dengan Dimas, dia tidak sesusah aku, setidaknya dia masih bisa beli baju lebaran tahun ini. Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk membelikan ibu dan Dimas baju lebaran tahun ini, yah dengan uang hasil copetku. Hanya tahun ini saja. Lalu bagaimana dengan ayahku? Ia lebih keras dariku mencari uang, hingga ia harus tinggal untuk beberapa tahun ke depan di dalam penjara. Aku tidak ingin seperti ayahku, aku satu-satunya harapan ibu. Aku pasti akan jadi orang besar nanti !
“kasih tahu sama anak kamu, jangan ajak anak saya belajar nyopet! Udah bapaknya masuk penjara karna jadi maling, sekarang anaknya jadi pencopet.” Teriak seorang ibu sambil menunjuk-nunjuk  ke arah ibuku. Ia membawa seorang anak yang sudah tak asing lagi bagiku. Itu Dimas, sahabatku.
“Ada apa bu ?” tanyaku ketika sudah dekat.
“nah ini dia pencopetnya! Dina, saya sudah bilang sama kamu, jangan ajak-ajak Dimas ikut mencopet sama kamu, ngajarin yang gak baik aja!” belum ibuku menjawab, ibu Dimas langsung membentakku.
“sudahlah, bu, ini bukan salah Dina, aku yang ingin ikut dia. Ayolah bu, kita pulang saja, malu dilihat orang” bujuk dimas kepada ibunya.
“ibu tidak akan pulang sebelum kamu janji sama ibu gak akan ikut-ikutan anak nakal ini, dan kamu Dina, awas klo dekatin Dimas lagi, kalian ga boleh temenan lagi.”
“tapi, bu...”
“tidak ada tapi-tapi, kamu harus turuti perintah ibu, ayo kita pulang! Besok kita berangkat ke Jogja.”
Dimas dan ibunya pun beranjak pergi.
“Jogja?”
            Aku hanya bisa diam sambil menahan sedih di hatiku, bukan karena ucapan ibu Dimas, tapi karna aku mungkin tak bisa bertemu Dimas lagi. Seharusnya aku tak membiarkannya ikut mencopet denganku.
“Dina?” ibu menyapaku, dielusnya kepalaku,”Nak, ibu tahu kamu sedih, Dimas anak yang baik dan juga sahabat yang setia. Ikatan persahabatan itu sangat kuat, nak, kamu gak perlu takut jika sahabatmu pergi jauh, karna sayap persahabatan itu tak terhingga.’
            Kupeluk ibuku erat dan tumpahlah air mataku seketika itu. Bagiku ini adalah perpisahan yang berat, ntah kapan aku akan bertemu Dimas lagi. Oh hampir saja aku lupa, aku harus membelikan baju lebaran untuk Dimas, aku sudah berjanji. Malam ini aku pergi ke toko-toko pakaian terdekat, aku tidak sanggup membeli yang mahal dan bermerek,. Tapi pasti akan kuberikan yang terbaik. Sesampainya di rumah, ku bungkus kado itu dengan rapi, sampul hijau bermotif bola berwarna-warni. Tak sabar aku memberikannya kepada sahabatku itu. Akan kuberikan besok pagi.
***
Keesokan harinya..
“Assalamualaikum..Dimas?” sapaku sesaat setelah tiba di depan rumah Dimas. Tak ada jawaban, “Dimas, ini aku Dina..”
“Yang punya rumah udah pindah tadi malam, nak,temennya Dimas yah ?” tanya seorang ibu kepadaku, sepertinya ia tetangganya Dimas.
“Sudah pergi,bu? bukannya pagi ini mereka berangkat?” tanyaku heran.
“Iya, katanya juga begitu, ibu juga ga tau kenapa dipercepat.” Jawabnya. “oh ya, nama kamu Dina ya ?” tanyanya lagi.
Dari mana ibu ini tahu ya? Pikirku dalam hati, “iya bu, dari mana ibu tahu ?”
Tanpa menjawab pertanyaanku, ibu itu masuk ke rumahnya, tidak lama ia kembali membawa sesuatu dalam sebuah kantong plastik. “Ini, titipan Dimas untuk kamu, nak!” ia memberikan kantong itu kepadaku. “Dimas bilang, nanti akan ada teman perempuannya datang mencarinya, itu pasti kamu, nak” lanjutnya.
Aku masih diam menatap apa yang ada d dalam kantong itu, seperti kado, dan sampulnya sama dengan kado yang akan ku berkan pada Dimas. Saat itu juga tak bisa ku tahan sedih dan haru di hatiku, tangisku kembali tumpah di sana. “Terimakasih ya bu” ucapku dan aku pun berlari pulang. Aku berjalan di pinggir rel kereta, mengingat kembali masa saat masih ada Dimas dulu.
“Dimaaaaassss !!!! aku berjanji ! saat kita beretemu nanti, aku akan jadi orang sukses dan kau juga harus  begitu !! sampai bertemu lagi SAHABATKU !!
Mulai saat ini aku berjanji tidak akan mencopet lagi, agar kau boleh berteman denganku lagi. Aku akan belajar lebih baik untuk membahagiakan dan membanggakan  orang-orang yang aku sayangi.
***
            Aku melanjutkan kehidupanku sebagai penjual koran, yang penting tidak mencopet kan? Bukan hanya sebagai penjual, aku juga adalah kutu koran. Bukan kutu buku, karna aku tak punya buku. Sekarang aku adalah murid kelas 3 di salah satu SMA di dekat rumahku, bukan SMA unggulan atau favorit karna aku tak punya cukup uang untuk masuk di sana. Tapi aku tetap belajar giat, aku selalu juara di kelas. Aku aktif menulis di mading sekolah. Pernah satu kali aku juara menulis cerpen tingkat SMA. Waah membanggakan sekali, bukan? Selain itu aku juga sering ikut lomba mading dengan teman-temanku sesama anggota mading. Dan bisa ditebak, kami selalu juara. Dari kemenangan-kemenangan itu aku diberi beasiswa dari sekolah. Alhamdulillah yaa.
            Oh yaa.. besok aku akan mengikuti lomba baca puisi tingkat nasional di Jogja, ya aku lulus seleksi di kotaku. Jogjakarta, aku akan ke sana. Masih ingatkan sahabatku, Dimas? Ya, Apa Dimas masih di Jogja ya? Mungkin aku bertemu dia? Seperti apa dia sekarang? Ahh, sahabatku ! Aku merindukanmu!
            Aku menyiapkan semua perlengkapanku untuk ke Jogja besok. Ibuku? Tentu saja Ia sangat senang sekali. Ibuku selalu mendukung apapun hal positif yang kulakukan. Apalagi mengikuti lomba-lomba seperti ini. Bahkan ibu pernah berhutang untuk membayar biaya administrasi perlombaan. Dan Allhamdulillah selalu membanggakan. Semua lomba yang aku ikuti berhubungan dengan tulis menulis atau sastra. Kenapa? Aku juga tidak tahu. Sejak SMP aku mulai tertarik dengan dunia aksara ini. Tapi aku baru berani megikuti lomba ya saat duduk di bangku SMA, atas dukungan keluarga, sahabat dan guru-guruku. Mulai saat itu aku bercita-cita menjadi Penulis atau Wartawan. Pasti sangat menyenangkan! Semangat !
            Ayahku? Ia sudah keluar dari kotak terali besi itu. Kini ia bekerja menjadi tukang kayu atau mebel di tempay usaha temannya. Cukup menghasilkan dan aku bangga. Aku tak pernah malu punya ayah seperti ayahku. Aku tahu Ia sangat sangat kepadaku dan ibuku.
            “Dina, sudah selesai beres-beresnya? Ayo makan malam dulu,Nak!” Panggil ibuku.
            “Iya bu, sedikit lagi” Jawabku.
            “Cepat ya, ayahmu sudah lapar nih!” Balasnya sambil kudengar sentila tawa dari ayah.
            Cepat-cepat kubereskan segala perlengkapanku. Cukup banyak, aku akan seminggu tinggal di sana. Lama juga kan? Saat aku bongkar lemari untuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal, aku menemukan bungkusan hijau yang sudah lama tidak kulihat lagi. Bungkusan ini mengingatkan akan memori 5-6 tahun silam. Saat aku masih berlari-lari bersama sahabatku. Ya bungkusan itu hadiahku untuk Dimas. Menetes sudah air mataku. Rinduku bergemuruh menyorak namanya. Segera kusimpan hadiah itu, akan kubawa ke jogja. Sebagai bentuk harapanku agar bisa bertemu Dimas.
***
            Hari keberangkatanpun tiba. Aku diantar orangtuaku ke bandara.
“Dina, kamu cari apa lagi? Nanti kamu ditinggalin loh,Nak!” Tanya ibuku yang sudah setengah jam menunggu diluar.
“Iyaa bu, ini udh selesai” Jawabku sambil tergesa-gesa keluar.
“Kamu ngapain sih Na?Ntar klo ditinggal ayah ga mau ngantarin kamu lo ke sana.” Gurau ayahku yang udah nentengin tasku.
“Ada deh, Yah ! haha ! Yuk berangkat!” Jawabku sambil mengedipkan sebelah mataku.
Kami berangkat dengan bus kota, ya mau bagaimana lagi. Kami tidak punya cukup uang untuk naik taxi. Sudah biasa jadi ya biasa saja toh. Selama perjalanan ke bandara, ayah dan ibu tak berhenti menasehatiku. Dari mulai menjaga sikap, terus berlatih dan juga tidak boleh berkeliaran. Aku hanya senyum dan mengangguk mendengar nasehat mereka. Sudah tidak sabar aku sampai di Jogja. JOGJA ! IM COMING !
“Kok lama banget sih, Din? Kita kan harus check in dulu.” Keluh Rena, temanku yang juga ikut ke Jogja sebagai perwakilan debat bersama Adi dan Kesya.
“Maaf-maaf ya semuaa, tadi barangku ada yang ketinggalan, trus ya tau sendiri deh, Jakarta macet dan aku naik bus.” Jawabku sambil ngos-ngosan.
“Yaudah, pamit gih sama ayah ibumu, kita udah mau check in nih!” Ucap Kesya.
Aku langsung berbalik menuju orangtuaku. Meminta izin kepada mereka. Sedih juga sih bakal seminggu ga ketemu mereka.
“Baik-baik ya, sayang. Jangan keliaran klo ga sama gurunya.” Nasihat ibu.
“Berusaha sungguh-sungguh ya, Din ! Berikan yang terbaik untuk kami semua!” lanjut ayahku.
“Insya Allah bu, yah. Doakan Dina ya ! Dina pasti kasih yang terbaik :)” Jawabku penuh semangat
Akhirnya pesawatku lepas landas. Ini pertama kalinya aku naik pesawat, gratis lagi. Haha senang sekali.Beberapa menit penerbangan, yang ku perhatikan hanya awan putih yang berarak, sesekali pesawatku bergoncang terjedot awan. Menyenangkan sekali. Coba saja ayah dan ibu bisa ikut, mereka pasti gembira. Nanti saat aku sudah punya uang yang banyak, akan kuajak ayah dan ibu terbang dengan pesawat. Amin.
Tiba di Bandara Adi Sitjipto, Jogjakarta. Kami di jemput oleh panitia dengan bus pariwisata.
“Waaah akhirnyaa, nyampe juga kita di Jogja !” Seru Adi yang memang sangat bersemangat dari awal perjalanan.
“Haha iyaa, Di ! aku juga seneng banget bisa sampai di sini.” Sambutku yang tak kalah semangat.
“Iya-iya, ayo masuk bus dulu ! biar cepet latihan.” Sahut Bu Ina, Guru Pembmbing kami dalam perjalanan ini. Ibu Ina adalah guru Bahasa Indonesia di sekolahku. Beliaulah yang terus mendorongku menulis dan mengajari kami semua tentang bagaimana berdebat dengan bahasa yang baik dan benar. Aku sayang sekali dengan guruku yang satu ini. Satu rahasia. Beliau masih single loh ! cantik lagi ! haha
“Yaah ibu, kita ga jalan-jalan dulu ya ?” Tanya Rena yang emang udah niat banget pengen jalan setiba di Jogja.
“Ihh si Rena, mau shopping ya ? sabar atuh neng !” Sahut Kesya yang udah tahu kebiasaan Rena.
“Nanti selesai acara, baru kita berwisata di Jogja, oke ?” Jawab Bu Ina dengan sangat lembut.
Kami semua mengangguk dan lanjut naik ke dalam bus. Perjalanan menuju tempat penginapan, kami isi dengan bernyanyi bersama. Melihat jalanan kota Jogja sangat menyegarkan mata. Kota yang biasa disebut Kota Pelajar ini memiliki daya tarik yang luar biasa. Sungguh tak sabar untuk mengelilingi kota ini. Ya mungkin saja aku bertemu dia. Dimas.
***
“Dinaaaaa ! cepetan, lomba puisi udah mulai tuh !” Teriak Adi di depan pintu kamarku.
“Iya-iya ini udah selesai kok !” Jawabku yang sebenarnya masih deg-degan.
“Langsung ke lobi yaa, Din !” Sahut Adi lagi.
“Ya.. “ Jawabku singkat.
Ntah kenapa aku deg-degan sekali hari ini. Tidak tahu ini pertanda baik atau buruk, yang jelas aku harus konsentrasi dengan penampolanku nanti. Come on rileks Dina !
“Undian 5 atas nama Dimas Mulya, utusan SMA 2 Jogjakarta, silakan.”
Kulihat seorang anak laki-laki tinggi berkulit putih maju ke depan. Dimas Mulya ! Bagaimana mungkin? Aku tidak melihatnya saat Teknikal Meeting kemarin. Apa aku salah lihat? Salah dengar? Atau aku berada di tempat yang salah? Aku coba mencubit pipiku, haah mataku kini membesar bahkan mungkin lebih besar dari jengkol. Selanjutnya, aku hanya terdiam memandangi Dimas membaca puisi, ya puisi yang sama denganku. Senja di Pelabuhan Kecil karya Chairil Anwar. Bagus sekali ! Sangat bagus ! Tapi kenapa tak ada yang tepuk tangan? Akupun mulai menepukkan tanganku. Semua penonton menatapku smbil memandang aneh dan tertawa. Ada apa ya? Haah sudahlah. Selesai membaca puisi Ia kembali duduk, aku berharap dia melihatku nanti. Dia duduk di kursi terdepan bersama beberapa temannya. Dimas jauh berubah sekarang, sahabatku lebih gagah. Senang sekali melihatnya. Masihkah dia mengingatku? Tak sabar menunggu giliranku agar Dimas bisa melihat penampilanku. Aku saingan beratmu sekarang, Dim ! hoho.
Akhirnya giliranku tiba.
“Undian 17 atas nama Ardina. Utusan SMA Karya Bakti Jakarta, silakan.”
Aku naik ke atas panggung. Belum berani aku menatap Dimas. Takut konsentrasiku buyar, langsung kubacakan puisi Chairil Anwar ini.
.....
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Selesai membaca puisi baru aku berani menatap Dimas. Kulontarkan senyumku kepadanya. Dia menatapku sebentar tersenyum tipis dan memalingkan wajahnya begitu saja. Mengapa? Lupakah dia denganku? Haah mungkin saja dia pangling melihatku. Ya aku juga sudah tak seperti dulu lagi. Apalagi sekarangkan aku memakai jilbab. Aku berpikir positif saja. Nanti kusapa lagi dia selesai acara.
Acara perlombaan puisipun selesai. Mataku langsung mengarah ke arah tempat duduk Dimas tadi. Tidak ada. Ahh kemana dia ? cepat sekali hilangnya? Kuputar tubuhku dan kutajamku penglihatanku 360 derajat ke seluruh ruangan. Dapat ! Pintu keluar. Aku memacu langkahku secepat mungkin. Saat hampir dekat kupanggil namanya, “Dimas ! Dim..” Dia tak mendengarku. Kepercepat langkahku dan ya dapat ! kutepuk pundaknya.
“Dimas ! apa kabar ?” Sapaku dengan senyum sumringah.
“Kamu siapa?” Tanyanya yang asli emnag lagi heran.
“Ga ingat ya ? Aku Dina. Sahabat kamu. Teman kecil kamu.”
“Dina ?” Tanya nya lagi.
“Iyaa Dimas ! yang kamu temenin copet dulu.” Jawabku dan sedikit menurunkan nada bicaraku. Takut kedengaran orang.
“Jadi sekarang kamu nyetor berapa sama bang Jarot? Masih 20ribu kan? Awas klo dinaikin !” Tanyanya kencang.
Aku terdiam. Perlahan pipiku basah dialiri air yang mungkin tumpah dari mataku. Dimas tersenyum geli melihatku menangis. Senang sekali sepertinya dia berhasil mengerjaiku.
“Yaah masa mantan pencopet nangis sih? Ahh payah nih !” Ledek Dimas sambil menepuk pundakku.
Tangisku semakin menjadi-jadi, bukan karena sedih atau sakit karena dipukul olehnya. Tapi karena kegembiraan yang tiada terkira. Sekarang sahabatku, Dimas, ada di depanku. Seperti mimpi rasanya.
“Suda-sudah berhenti sedih-sedihannya, ini aku ada sesuatu buat kamu.” Disodorkannya sebungkus coklat kepadaku.
“Ini kan..” Kulihat baik-baik bungkusan permen itu.
“Kenapa? Jangan jangan sampai SMA gini kamu belum pernah nyobain coklat ini ya?” tanyanya balik sambil meledekku.
“Ihh enak saja ! aku sudah sering makan coklat ini, sok tau kamuu!” Kubalas pukulan nya tadi. Ya coklat ini adalah coklat yang sangat aku inginkan waktu kecil dulu. Tapi harganya mahal seklai, dan aku tidak sanggup membelinya. Sebenarnya sampai sekarangpun aku belum sanggup membelinya. Akhirnya Dimas juga yang memberikannya.
“Haha mengaku saja, Din, ini pertama kalinya kan?” Lanjut Dimas belum puas meledekku.
“Terserah kamu saja mau percaya atau ga. Wahh, kamu sudah makmur sekarang ya Dim. Sudah jadi orang kaya sepertinya !” Tanyaku.
“Hmm tidak juga, alhamdulillah usaha pabrik roti ayahku cukup sukses dan berkembang di Jogja dan beginilah jadinya.” Jawabnya santai.
“Benarkah? Alhamdulillah ya, tolong sampaikan salamku pada ayah dan ibumu ya, Dim!” Pintaku pada Dimas. Senang sekali aku mendengar keerhasilan keluarganya.
 “Kamu tidak benci dengan ibuku? Dia kan sudah memarahimu dan ibumu? Aku sangat malu dam nerasa bersalah saat itu. Maaf ya, Din?” Air muka Dimas langsung berubah seketika. Terlihat raut wajah penyesalan dan kesedihan di sana.
“Haha, siapa bilang begitu? Aku tidak benci atau apalh namanya itu. Ibumu itu benar, dan harusnya aku yang menyesal. Seharusnya aku tidak membiarkanmu ikut mencopet denganku atau seharusnya aku tidak belajar mencopet waktu itu. Gara-gara itu aku kehilangan sahabat baikku. Sudahlah, Dim, itu sudah lama sekali. Tapi kira-kira ibumu masih kesal denganku ga ya?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar