Langit masih tetap cerah malam ini, mengumpulkan semua
rakyatnya yang bersembunyi seharian tadi. Di sudut kamar ini, aku masih
menggemakan rindu yang kian hari kian menjadi. Tak dapat menyatu dengan
lingkaran merah di atas sana. Masih dengan segala keyakinan yang memeluk mesra sekujur
jiwa, keyakinan akan janji suci yang terpatri di surat merah muda yang bukan
hanya sekedar aksara. Tidak hanya hari ini, jam ini, menit ini bahkan detik
ini, aku masih tetap menunggu lambaian tangannya di balik jendela sarang rayap.
Dia yang
belum juga kembali dari pencarian jati diri.
belum juga kembali dari pencarian jati diri.
“Aku
ingin hidup yang lebih baik, aku tidak bisa terus tinggal di sini.”
“Lalu
bagaimana denganku? Kau berjanji akan menikahikukan, Pram?”
“Aku
mencintaimu, sangat mencintaimu. Kau hanya perlu menungguku, aku pasti pulang.”
Ya itu
yang dijanjikannya empat tahun lalu. Janji manis yang masih kuyakini hingga
detik ini. Pram itu pria yang baik, pengertian dan sangat bertanggungjawab. Aku
sudah mengenalnya sejak umur 10 tahun. Dia memang bukan keturunan dari orang
yang berada, tapi dia pekerja keras. Aku bangga sekali padanya. Sejak duduk di
bangku SMP, ia sudah sering berjualan ikut ibunya. Aku kagum sekali melihatnya
mengangkut barang dagangan dengan tubuhnya yang kekar itu. Sekarang aku tak
tahu ia dimana, ntah bagaimana keadaannya. Dua tahun pertama, Pram masih sering
mengirimiku surat. Dalam suratnya, ia masih terus memintaku menunggu. Aku tahu,
itu bukan hanya sebuah permintaan, tapi sebuah permohonan dan harapan. Tapi dua
tahun terakhir, aku tak menerima surat merah muda itu lagi. Dari alamat surat-suratnya
terdahulu, aku kirimi ia surat. Namun tak pernah ada balasan. Hatiku mulai
resah, menduga-duga hal yang tak pernah kuharapkan.
Kini
umurku sudah menginjak 28 tahun. Orangtuaku tidak akan membiarkanku menjadi
perawan tua dengan menunggu Pram. Mereka mencoba mengenalkanku dengan pria
lain, yang notabene lebih baik dari Pram dari segi materi dan pendidikan.
Berulang kali juga aku menolak mereka. Berulang kali aku meminta ibuku untuk
berhenti mengenalkanku dengan pria lain karena aku tidak akan menikah dengan
pria selain Pram.
“Apa
lagi yang kau tunggu dari pria itu, Na? Dia pasti sudah menikah dengan
perempuan lain di sana. Kau tak perlu menunggunya lagi, Nak!”
“Aku
hanya mencintai Pram, bu. Maafkan aku, aku hanya akan menikah dengannya, dia
pasti kembali bu.” Selalu percakapan itu yang terjadi.
Pram,
kau dimana sayang? Aku merindukanmmu. Detak jantungku mulai melambat karna
memikirkanmu. Menerka-nerka kesetiaanmu padaku. Aku takut keriput mulai timbul
di wajahku yang dulu sangat kau kagumi. Wajahmu
layaknya pelangi di gurun Sahara, keajaiban, begitu katamu dulu. Masihkah kau
mencintaiku nanti, Pram? Aahh aku sungguh gila memikirkannya. Tapi kau pasti
lebih gagah sekarang, tentu banyak perempuan cantik yang melirikmu di sana. Lalu
kapan kau akan pulang sayang?
Hari ini
aku berjalan menyusuri padang ilalang, tempat kita memadu kasih. Setiap
hembusan angin ini telah menjadi saksi ikrar cinta kita. Gubuk kecil yang kau
bangun dulu masih tetap kokoh di unjung sana. Gubuk mungil ini dan cinta kita akan menjadi cerita indah untuk anak
cucu kita nanti. Kau memelukku erat sekali waktu itu, sampai-sampai aku
susah bernafas. Itu adalah hari terakhir kita bertemu sebelum akhirnya kau
pergi dengan cita-citamu itu.
Hingga
berita itu datang, aku seperti tersambar petir bengis di siang bolong. Aku
mendengarnya dari ibu-ibu setengah baya yang berkumpul di warung kecil itu.
“Kau,
masih ingat si Pram, Min?” tanya seorang ibu
“Pramoedya
? anak Mbak Ratih? Ada apa memangnya?” jawab ibu yang lain
“Iya
yang itu, aku dengar dia telah berkeluarga sekarang. Ia menikah dengan seorang
anak pengusaha di kota sana.”
“Ahh
yang benar? Kudengar ia akan menikah dengan anaknya Mbak Ani, si.. ?”
pembicaraan mereka langsung berhenti saat menyadari keberadaanku.
Pram,
benarkah itu? Kau menghianatiku? Tidak mungkinkan? Itu mustahil. Aku tahu kau
sangat mencintaiku. Mereka pasti salah dengar, mungkin Pram yang lain. Kalau
tidak mereka pasti berbohong. Tubuhku mulai gemetar, mataku memanas menahan
mendung yang lebih kelam dari malam yang sedang bergemuruh. Aku tak tahan lagi,
bergegas aku berlari menumpahkan mendung
duka ini, membasahi hati yang telah lebam oleh penantian.
Kian
hari berita itu semakin hangat panas dan membakar telinga dan sekujur ragaku.
Aku mulai risau, gelisah dan muak. Mereka melihat ku seperti perempuan yang
paling menyedihkan dan sangat pantas dikasihani. Seorang perempuan yang segera
menjadi perawan tua dan mungkin gila karena menuggu pria yang kini mungkin
sedang bercinta dengan perempuan lain.
Masih
ingatkah kau dengan Sajak Khalil Gibran yang kau bacakan untukku?
Bila
cinta mendatangimu, ikuti dia,
Walaupun
jalannya sulit dan terjal
Dan
ketika sayapnya mengembang mengundangmu,
Walaupun
pedang yang tersembunyi di antara ujung sayapnya dapat melukaimu
........
Kau suka
sekali dengan semua tulisan Khalil Gibran. Aku yang awalnya biasa saja jadi
ikut-ikutan suka. Bahkan itu jadi kado rutinmu untukku. Pernah tersirat di
pikiranku untuk mengejarmu ke sana. Ke kota yang tak jua membiarkanmu pulang ke
padaku. Namun niat itu aku urungkan, karena kau hanya memintaku untuk menunggu,
bukan untuk menyusulmu. Atau mungkin aku takut untuk menemui kekecewaan.
“Nina,
ada yang nyari kamu di luar!”
“Siapa,
bu? Nina sedang tidak ingin diganggu.” Sahutku yang memang sedang tidak baik.
“Temannya
Pram, katanya!”
Teman Pram?
Kenapa, kenapa bukan Pram yang datang? Ada apa denganmu Pram? Segera aku
melangkah meninggalkan kamar suram ini sebentar. Di hadapanku, seorang
perempuan, mungkin hampir seumuran denganku. Lama kuperhatikan, ia mirip sekali
denganku. Matanya yang sayu, bibir kecilnya yang merah, mungkin ia adalah salah
satu dari tujuh kembaranku di dunia.
“Nina?”
Tanyanya dengan raut yang tak jauh berbeda denganku. Raut perempuan yang telah
lelah bergulat dengan kesabaran dan kepasrahan. Hah sok tahu sekali aku.
“Iya,
aku Nina, kau temannya Pram? Sejak kapan?” Tanyaku sedikit ketus.
“Aku
Ila, ya dulu aku temannya Pram, tapi sekarang...”
“Sekarang apa?” Potongku langsung.
“Aku
istrinya Pram, maafkan aku. Mungkin kau akan terkejut atau mungkin segera
memakiku keluar dari rumah ini. Tapi ini adalah sebuah kenyataan, ini takdir.”
“Apa
yang kau katakan barusan? Istri? Berani sekali kau mengatakannya di hadapanku!
Jika kau datang hanya untuk membualku seperti ini, lebih baik kau pergi dari
sini. Aku sedang tidak ingin dibodohi seperti ini.”
“Pram
sudah meninggal setengah tahun yang lalu. Jika kau ingin tahu yang sebenarnya,
dengarkan aku dulu. Pram bekerja di perusahaan orangtuaku. Dia pekerja yang
ulet dan rajin. Tidak diragukan, ia juga sangat tampan. Dua tahun yang lalu ia
mengalami kecelakaan yang membuatnya tidak ingat apapun, kecuali kau, Nina.
Pertama kali ia melihatku setelah kecelakaan itu, ia terus saja memanggilku dengan namamu itu.
Aku sudah berulang kali mengatakan bahwa aku bukan Nina, tapi iya tetap tidak
percaya.”
“Dan dia
menikahimu?”
“Ya,
awalnya aku menolak, tapi orangtuaku memaksaku untuk menerimanya. Namun efek
dari kecelakaan itu semakin parah dan kami tak dapat menolongnya lagi.”
“Lalu
bagaimana kau bisa sampai di sini?” Tanyaku denga suara yang semakin parau. Tak
sadar air mataku telah melimpah ruah sebagai bukti kepedihanku yang tak urung
seperti hutan yang bukan hanya kehilangan pohonnya tapi juga tanah suburnya.
HAMPA.
“Dari
ini..” Diperlihatkannya tumpukan surat bersampul merah muda. Aku tahu, itu
adalah tumpukan suratku untuk Pram. Semua aksara di dalamnya adalah ramuan
cinta kesabaran atas penantian yang memilukan ini. “Aku menemukannya di antara
kumpulan buku Khalil Gibran kegemarannya.”
“Aku
rasa cukup, kau boleh pergi. Terimakasih kau telah datang dan mengatakan
semuanya.” Aku balikkan badan dan pergi menuju kamar suram itu lagi.
Aku baca
kembali semua surat Pram kepadaku masih dalam isakan yang dengan cepat menjadi
raungan. Kulihat ada satu surat yang belum dibuka.
Maaf
ya sayang, aku masih untukmu di sini, tak ingatkah kau ini adalah hari jadi
kita yang ke lima tahun? Aku menunggumu di luar sini.
Dalam ketidakwarasanku, kupandangi jendela sarang sayap
itu lagi. Kulihat ada Sam di sana, ia melambaikan tangannya kepadaku dan
berteriak, “ Maukah kau menikah denganku, Nina?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar