IMAJINASI LOSARI
“Rendy..”
“Iyaa..”
Mendengar suara merdu itu sejenak aku kembali di dua tahun lalu, di tepi pantai terindah yang pernah aku jadikan keajaiban dunia dalam imajinasiku sendiri, Pantai Losari, Makassar. Aku berdiri di tepinya sambil menghempas pasir putih itu dengan setiap ujung jariku. Sesekali kulihat ada umang-umang mengamatiku, mendekatiku dan mendaki ke punggung kakiku dari ujung kaki, geli juga rasanya. Gantian aku yang mengamatinya sekarang. Ingin sekali aku gantian menaikinya. Pasti akan sangat menyenangkan. Imajinasiku kembali meronta ingin diceritakan. Ya aku menaiki umang-umang itu tentu dalam imajinasiku. Aku berjalan mengelilingi pantai, pelan sekali jalannya umang-umang ini, sama pelannya dengan hidupku. Namun, tiba-tiba tubuhku seperti dihempas sesuatu, aku tidak sadar apa itu. Ah biar saja, toh hanya imajinasiku saja.
Ada yang memanggilku, “Rendy, cepet berenang, jangan bengong aja !”
Aku mulai merasakan ada yang ganjil, nafasku mulai sesak, serasa ada jus pasir masuk ke tenggorokanku. Aku benar-benar tidak bisa bernafas. Apa aku akan mati dalam imajinasiku yang bodoh ini? Haah tidak ! kau salah Rendy ! lihat, ada gadis cantik di sana, ia melambaikan tangannya padamu, ayo raihlah tangannya, ini imajinasi terbaikmu ! kuraih tangan gadis itu, samar rasanya aku mengenalnya dan aku tak ingat lagi.
“Rendy, ayo bangun ! sadar dong !” Nina menampar-nampar pipiku, mencoba membangunkanku. Haah ternyata aku hampir tenggelam. Betapa aku kelihatan bodoh waktu itu, diselamatkan gadis cantik ini. Bukannya aku tidak bisa berenang, tapi ntah apa yang terjadi denganku. Aku buka mataku, kulihat Nina bukan hanya dilumuri air laut, tapi pipinya juga sudah basah dengan air mata. Nina adalah sahabat baik yang aku cintai.
“Kamu ini kenapa sih, Ren? Ngelamun aja, kalo kamu beneran tenggelam terus mati gimana?”
Sejak hari itu, aku merasa bahwa separuh nyawaku adalah milik Nina. Aku terus memberikan perhatian kepadanya, dan kurasa ia mulai menyukaiku. Mulai kurancang impian-impian kecil bersama Nina. Sebuah masa depan yang tidak ada bedanya dengan surga, hingga saat di mana aku harus merelakannya memilih pria lain. Pria yang tidak jauh beda denganku, Randy, saudara kembarku. Ya, kenyataan yang terasa lebih mengerikan dari tentang aku yang pernah hampir mati itu. Bahkan aku merasa jadi mayat hidup mendengar pernyataan Nina, “Aku dan kakakmu Randy sudah resmi jadi pasangan kekasih, setahun lagi kami akan menikah.”
Mulai saat itu, aku jauh lebih pendiam dari biasanya, mengurung diri di setiap ruang dan waktu yang kian hari semakin menikamku dengan kenyataan buruk. Imajinasiku semakin buruk, seakan-akan segera menggantikan dunia nyataku yang mungkin lebih buruk dari imajinasiku. Tapi bukan berarti aku mengalihkan perhatianku dari Nina dan Randy. Aku masih terus mengamati mereka, setiap gerak-gerik yang membuat setiap aliran darahku meronta mencari jalan keluar. Aku tahu Randy bukanlah pria yang benar-benar baik, ya tidak lebih baik dariku. Aku juga sering melihatnya gonta-ganti pacar dulu. Ntahlah sekarang, tidak kupedulikan lagi.
Aku dan Randy itu kembar identik. Susah sekali untuk dibedakan, hanya mode rambut dan sifat saja yang bisa membedakan kami. Bahkan Nina juga sering salah menyebut nama kami. Hal itu kadang membuat imajinasi nakalku kembali bergejolak, bagaimana jika Nina sampai salah merangkulku atau bahkan menciumku? Pernah suatu hari imajinasi sinting itu hampir menjadi kenyataan. Saat Nina datang ke rumah, aku sedang nonton TV, mungkin ia sedang rindu sekali dengan Randy. Tanpa basa-basi ia langsung memelukku dari belakang. Aku terdiam, kubiarkan saja dulu. Dua menit saja aku ingin menjadi Randy, Randy kekasih Nina. Seharusnya ini jadi imajinasi nyata yang ikut merangkul keinginanku dan mengembalikan setiap waktu yang harusnya menjadikan aku pemeran utamanya bersama Nina. Nina yang sadar langsung melepas pelukannya dariku, dicubitnya lenganku sambil cemberut. Aku hanya tertawa kecil saja.
Setiap hari yang aku lakukan adalah mengirimkan kue pie kesukaan Nina ke rumahnya lewat kurir. Tentu dia tidak tahu itu aku. Yah mungkin saja ia mengira itu kiriman dari kekasihnya-saudara kembarku- Randy. Biar saja, toh aku hanya peduli melihat Nina tersenyum heran melihat kue favoritnya itu di depan pintu rumah. Kadang kuselipkan kartu ucapan dengan kata-kata lembut kepadanya. Haah betapa tersanjungnya ia saat membacanya. Pernah kudengar ia mengadukan kirimanku itu pada Randy. Randy hanya mengakatakan bahwa kirimanku itu dari orang iseng.
Seminggu lagi ulang tahunku, yang berarti juga ulang tahun Randy saudara se embrioku. Ulang tahun ke 24. Ulang tahun yang merusak setiap detak dan aliran ditubuhku, menindihku dengan kenyataan yang semakin pahit. Membasuh setiap luka dengan cuka yang melimpah, membakar dan menyisakan arang pekat. Pengumuman pertunangan Randy dan Nina. Aku putuskan tidak datang. Aku lebih memilih kembali menaiki umang-umang di sini. Di tempat cintaku membagi separuh nyawanya kepadaku. Tak kuhiraukan lagi yang ada di sekitarku. Kini hanya ada aku dan imajinasiku tentang Nina. Ingin sekali kukatakan padanya bahwa setiap rintih hatiku seperti hujan darah yang segera memerahkan Losari ini, yang dapat membunuh setiap kehidupan di dalamnya. Aku mencintaimu Nina, mencintaimu dengan cintaku, ragaku, bahkan dengan imajinasiku. Cintaku sudah meluap di Losari ini sejak dua tahun yang lalu, aku tidak sanggup untuk menahannya lagi, bendunganku telah roboh. Kadang setan dalam diriku merayuku untuk menjadi aku satu-satunya Rendy, dan menghapus Randy di dunia nyata ini. Namun tidak kubiarkan pikiran jahat itu meracuniku, karna itu hanya akan menyakitimu Nina dan itu sama saja menyakiti diriku sendiri melihatmu terluka.
Kenapa kau tak mencintaiku? Kenapa kau tak memilihku Nina? Kenapa angin tak bawa saja hatiku yang kian menderu memecah malam yang kian jahannam menguburku dalam kelamnya. Dan bulan bintang semakin redup menyaksikan keruntuhanku malam ini. Oh Tuhan, tak kau dengarkah doa seorang pengimajinasi liar sepertiku?
Malam ini kau pasti sedang berbahagia dengan saudara kembarku itu. Kenapa aku tidak berniat sekali melihat senyummu malam ini. Mungkin senyummu yang paling sumringah dan indah. Senyum yang hanya akan ada malam ini saja. Selamat ya, Ninaku sayang. Jika kau mengingatku malam ini, tersenyumlah untukku, hanya untukku.
Waktu akan terus berlalu menembus setiap kerinduan dan kecintaanku padamu Nina, dan setiap ombak Losari ini akan terus membasahi tepi pantai yang rawan akan imajinasi sintingku tentangmu. Di sini aku berdiri, menunggu ombak itu datang lagi, sampai akhirnya berita naas itu mengembalikan ingatanku di dua tahun yang lalu dan mengembalikanku ke sisimu Nina. Kukembalikan separuh jiwamu yang dulu ke imajinasi dengan Tuhan sebagai sutradaranya.
“Randy... banguunn, jangan pergi, Ran !”
Annisa Fitri mahasiswa UIN Suska Prodi Pend.B.Inggris
Berkecimpung di dunia Teater dan Tulis Menulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar