Sabtu, 24 November 2012

LUKARMA

LUKARMA
Ada yang tertinggal di sini, sesuatu yang sebenarnya hanya sekelumit saja. Tapi, ini juga tidak sesederhana menyebut A B atau C. Kau masih ingat sesuatu itu? Iya, sesuatu yang lupa kau bawa pergi saat kau memilih sesuatu yang lain di ujung sana. Ya sesuatu yang memang lebih dari sesuatu yang sekelumit tadi. Lalu apa? Apa yang tertinggal itu? Benar kau tidak ingat? Padahal sudah kuingatkan jangan tinggalkan sesuatu itu di sini, kau masih saja ingin pergi sendiri. Ah sudahlah, setidaknya kau menemukan sesuatu yang lebih itu kan? Bagaimana perasaanmu? Puaskah?
            Aku sudah melewati hari, bulan, dan tahun bersama sesuatu yang sekelumit itu. Dan hari ini aku mulai muak! Sesuatu yang sekelumit itu kini semakin menjadi-jadi saja, menguras emosiku yang
dulu masih bersemayam tenteram di sebalik sesuatu itu. Bisa kau bayangkan? Aku harus membakar, merobek, mencincang, bahkan mungkin akan membunuh apapun yang berpotensi meningkatkan kerja sesuatu itu untuk menggulung ketenteramanku selama ini. Biadab memang, tapi hanya itu yang bisa kulakukan. Ah, harusnya jangan kau tinggalkan dia!
            “Ma, , mmaa, adi auus, huhu.” Anak ini suka sekali merengek, sama seperti kau.
            “Ini minumlah!” kusodorkan segelas air ke arahnya, ah tidak, langsung kemulutnya. Kenapa? Dia tak punya alat untuk memegang sesuatu. “Pelan-pelan sajalah, nanti kau tersedak!”
            Sampai umur 15 tahun ini, dia hanya tau minta makan dan minum. Yah itu lebih baik daripada ia minta yang lain atau bertanya yang lain. Tapi belakangan ini ia mulai menyebut hal-hal aneh. Hal-hal yang tak pernah kuajari sebelumnya, tak juga orang lain karena aku hanya hidup berdua dengannya. Kenapa lagi? Ya karena aku malu, apa lagi? Dan pria yang dengan ganasnya merobek keperawananku di hutan belantara ini dengan janji mencintaiku seumur hidup, akhirnya meninggalkanku dengan luka hidup yang tak terperikan. Hahah aku sudah mati saat itu, mati berlumur kepasrahan atau kebodohan tiada ampun. Sial
            “Yahh, yyahh na ma?” Ah, darimana anak cacat ini belajar bertanya seperti itu? Sudah berulang kali ia tanyakan itu padaku. Apa yang harus kujawab? Kudiamkan saja, toh aku juga tidak tahu di mana pria brengsek itu sekarang. Atau mungkin ada baiknya jika kukatakan kau sudah mati? Ya bagaimana kalau begitu? Ah tidak, itu terlalu kejam. Walaupun tidak sekejam perlakuanmu padaku. Aku ini perempuan, lembut, tidak mungkin mengatakan hal-hal sadis seperti itu kepada anak kecil. “Ayah nda ada!” Kujawab saja begitu. Selesai.
            Sejak itu, tak pernah ada kata-kata aneh yang keluar dari mulutnya yang tak berhenti bergetar itu. Kadang, iba juga rasanya saat menatap tatapan kosongnya dari kejauhan. Gerak-geriknya begitu lamban, tapi tidak saat ia berlari. Aku rasa ia akan jadi atlet sprint hebat nanti, sama seperti pria itu. Ah, lagi-lagi kau mengingatkanku pada pria itu, kenapa kau tak terlihat mirip sepertiku? Apa kau bukan darah dagingku? Ah tidak, kau lahir dari bagian tubuhku, kau pasti anakku. Ya anak yang kuharap akan sempurna, sesempurna cintaku kepada pria itu dulu.
            Aku dengar kau sudah menikah dengan seorang perempuan, ah sejenis tante atau apalah namanya yang kau temui di bar murahan di ujung sana. Aku sangat terkejut mendengarnya. Apa yang kau cari darinya? Uang, kecantikan, kenikmatan atau apakah? Dan akhirnya hanya penyakit menjijikkan itu yang kau dapat. Kita impas bukan? Oh tidak, aku lebih beruntung mungkin. Ya, setidaknya dia bisa jadi hiburan saat aku lelah mencari kayu dan ubi di hutan ini. Aku tidak berani keluar dari sini, hanya caci yang akan aku dapat. Di sini lebih baik dengan segala keheningannnya.
            Dulu ibuku sudah berulangkali mengingatkanku untuk menjauhimu, meninggalkanmu. Bahkan ayahku sudah mati rasa untuk terus-menerus menasehatiku. Ini mungkin balasan yang harus aku dapatkan karena terus tertipu oleh manisnya rayuan setan yang kau berikan padaku. Bodohnya aku, tapi apa daya, perempuan kadang terlalu confident terhadap perasaannya yang ternyata secara perlahan menusuknya dari dalam. Wahai perempuan! Berhati-hatilah terhadap perasaanmu itu, kau bisa kebablasan!
            Dan malam itu kegelisahan yang kukhawatirkan benar-benar menyentakku dari tidurku yang memang tak pernah tenang. Kau datang!
            “Mar, Marni! Buka pintunya! Ini aku Rudi! Cepat buka pintunya!”
            Perlahan aku beranjak dari dipan lapuk tempatku berbaring selama beberapa tahun ini. Decitan suaranya semakin mengiris. Sebenarnya aku ragu melangkahkan kakiku untuk membuka pintu itu, rasanya lebih seperti membuka gerakan setan yang sudah lama mengintaiku. Tapi, rasa penasaranku membunuh ketakutan itu.
            “Kenapa lama sekali kau buka pintunya? Di luar dingin sekali. Apa yang sedang kau lakukan ha?!” Untuk beberapa saat kubiarkan ia mengamuk. Entah apa yang ada di pikirannya, apa tujuannya kembali datang ke sini dalam suasana hati yang begitu buruk seperti itu. Namun kembali ia berteriak.
            “Mana anak cacat itu? Kau masih membiarkannya hidup?” dilangkahkannya kakinya ke arah pintu kamarku, di intipnya sebentar, kulihat air mukanya berubah begitu mengerikan. Tidak jauh berbeda dengan air muka para pembunuh yang dulu pernah kulihat di televisi. Apa yang telah terjadi padanya? Ah, aku semakin ngeri dan muak!
            “Mau apa kau kemari? Apa yang kau inginkan? Dan tengah malam begini, apa yang kau...”Kutatap matanya dalam-dalam, takut akan ada  kebohongan yang disembunyikan. Tapi ternyata tidak.
            “Anak sialan itu, anak itu dan kau terus menggerogoti pikiranku. Tidurku tak pernah nyenyak. Dan penyakit menjijikkan ini memperburuk keadaan.” Ia menjawabnya dan tetap kutatap matanya, tak ada kepura-puraan. Kulihat kegelisahan di wajahnya, belum pernah kulihat ia segelisah itu.
            “Kasian sekali kau, lalu sekarang kau merasa bersalah, kau menyesal?” Kulangkahkan kakiku ke arahnya, mencoba merasakan hawa tubuhnya. Kurasakan nafasnya yang menggebu, kulihat ia mengepal keras tangannya. Tubuhnya mulai menggigil, miris sekali. Aku semakin yakin kalau Rudi telah melewati hari-hari yang begitu buruk. Bukan cuma tubuhnya tapi lebih ke dalam lagi, yaitu jiwanya.
            “Diam kau! Seharusnya kau bunuh saja anak itu! Anak itu tidak berguna dan hanya akan menyusahkanku saja!” Teriaknya.
            “Menyusahkanmu? Selama ini dia hidup denganku, aku yang mengurusinya. Kenapa harus kau yang merasa terbebani? Aneh sekali. Kau kenapa? Dihantui rasa bersalah? Tidurmu tak nyenyak? Seperti di kejar-kejar setan tanggungjawab? Ah, sudah kubilang jangan tinggalkan dia tapi kau tetap melakukannya, lalu sekarang bagaimana? Mau membunuhnya?” Jawabku lebih tenang.
            “Iya! Aku ingin membunuhnya dan juga kau! Kalian benar-benar merusak hari-hari indahku!” Rudi mulai mendekat ke arahku. Tampak matanya membelalak seperti kehausan darah. Kutantang dia dengan balas menatapnya. Sebenarnya aku takut, takut sekali. Bagaimanma jika ia benar-benar membunuhku dan juga Adi? Ah, sejenak kukira itu baik agar aku tidak merasa sengsara lagi. Tapi, aku mulai berpikir untuk memulai hidup baru bersama Adi dan keluar dari hutan kelam ini. Sial! Rudi mulai melayangkan tangannya ke arahku. Namun tiba-tiba!
            “AAAAAHHHHHHH......”
            Apa yang terjadi? Mataku langsung menuju sesosok anak yang tubuhnya kini sedang menggigil ketakutan. Pisau yang kini ada di mulutnya telah bercat merah berlumur darah. Anak ini telah membunuh pria brengsek itu. Tanpa sadar aku menjadi panik waktu itu. Kubentak Adi atas tindakannya yang entah darimana dia belajar melakukannya. Kucek lagi denyut nadi Rudi, siapa tahu dia masih hidup. Tapi ternyata tidak, tusukan yang mungkin mengenai bagian vital di dadanya telah membuat ia tewas saat itu juga. Aku mulai berpikir apa yang harus kulakukan dengan mayat ini. Berulang kali kuputari mayat Rudi, sesekali kutatap Adi yang kinipun semakin ketakutan. Bayangkan saja anak sekecil Adi berani menusukkan pisau ke orang lain. Entahlah, yang jelas aku merasa khawatir terhadapnya atau mungkin aku harus berterimakasih.
            “Kita harus pergi dari sini!” Kubawa Adi keluar rumah, sesekali kulihat kebelakang. Aku masih ragu meninggalkan mayat Rudi di sana. Ah, biar saja! Tidak ada yang akan menemukannya di hutan belantara ini. Langkahku semakin cepat, Adi masih bisa menyeimbangi kecepatanku. Sebenarnya aku tidak tahu entah ke mana aku berlari, yang jelas sejauh mungkin dari rumah itu.
            Sudah hampir setengah jam aku berlari dan tanpa sadar aku kehilangan Adi. Ia menghilang. Ah, sial! Kemana anak itu? Kupanggil-panggil namanya. Aku mundur beberapa meter ke belakang, mungkin dia kelelahan dan berhenti sejenak. Tapi tetap ia tidak kutemukan. Aku benar-benar lelah. Kusandarkan tubuhku ke pokok kayu besar yang ada di hutan itu. Nafasku masih tersengal-sengal. Perlahan kutarik nafas dalam-dalam, kutahan sebentar dan kukeluarkan dengan cepat. Mungkin aku harus tidur di sini hingga fajar nanti. Terlalu gelap dan aku tidak bisa melihat apa-apa.
            Dengan cepat aku terlelap. Entah sadar atau tidak, aku melihat sesosok bayangan yang datang dari arah samping kiriku, ah telalu gelap di sini. “Adi?’ aku coba menebaknya. “Siapa itu?” tanyaku lagi. Jangan-jangan Rudi? Ah, mustahil. Aku sudah berulang kali memastikan denyut nadinya. Atau mungkin arwahnya? Ah, sungguh semakin ngelantur pikiranku. Aku coba berdiri untuk memastikannya. Namun tiba-tiba ia berlari dengan kencang ke arahku. Benar-benar cepat, bahkan tanpa sadar sesuatu telah menusuk dadaku. Tidak, lebih dalam lagi, jantungku. “Hii,hi” aku dengar tawanya. Lelaki, yah dia yang tadipun telah melakukan hal yang sama terhadap Rudi.
            “Adi, kau?” Dia menangis.

1 komentar: