Jika
langit terus mendung tanpa memastikan hujan akan turun, akupun tak dapat
memastikan sampai kapan rindu ini akan tertahan, kapan rindu ini akan mengering
atau kapan aku dapat menerobos sekat-sekat waktu untuk mengikisnya. Kering sudah
hamparan hati yang tak kunjung dipeluk angin, tak kunjung dicium ribuan rintik.
Sesaat rasanya aku masih mendengar hembus nafasmu yang sepoi membawa sedikit
asa untuk kurengkuh. Jelas, bukan aku telah hilang kendali, tapi ini hanya
sedikit kelemahanku dalam menafsir kasih. Membuat semua buih-buih itu mendidih
tumpah kesegala arah. Telah kuingatkan diriku sendiri, tapi apa daya, buih itu
telah memenuhi semua saluran di tubuhku. Tanpa ampun memaksaku untuk terus
mencintaimu dalam kerinduan yang begitu dahsyat mengurungku. Ah, ini lagi yang
tak kumengerti, mengapa cinta membiarkanku mengalah untuk tetap merindukanmu
sendiri? Kenapa tak kau bunuh saja aku?
Ini sudah lebih dua tahun, dan tepat di hari inilah aku
harus mulai belajar mengalah pada jarak, juga pada waktu yang terus berputar
tak tentu arah. Sebenarnya sudah tak ada lagi rindu, toh tak ada lagi yang bisa
kurindukan. Orang itu sudah lama pergi, jauh sekali. Aku ingat sekali kalimat
terakhir yang dia ucapkan padaku, “Kenapa kau menangis? Kemarin kau mengaku
akan baik-baik saja tanpaku? Kau bohong ya? Ingatlah, aku tidak akan pulang,
jadi kau harus kuat! Mengerti?”. Mendengar itu aku bisa apa? Aku terus saja
menangis.
“Rani! Kamu jadi ikut tidak? Kami semua sudah siap, ayo
cepat!”
“Duluan saja bu, nanti aku menyusul.” Jawabku. “Baiklah,
hati-hati ya!”
Seperti tahun lalu, angin selalu saja bertiup kencang,
mendung lalu hujan tak mampu mencair. Aku dengar siang ini akan ada gerhana
matahari, dan seperti biasa keindahan alam itu tak dapat dilihat dari kampungku
ini. Dulu, waktu masih ada kau, kita akan selalu mencari cara untuk bisa
melihat bulan yang sedang membentuk cincin pada matahari. Aku masih menyimpan
kacamata ajaib itu, iya kacamata yang benar-benar ajaib. Aku bisa melihat
dengan jelas, bukan ke langit, tapi ke hatimu, jauh di dalam hatimu. Ada
matahari yang lebih indah.
“Rani!!” Seseorang memanggilku dari luar kamar. Bukankah
semua sudah pergi duluan? “Raniiii !!”. Dia memanggilku lagi. Seorang
laki-laki. Pelan aku berjalan ke arah pintu. Rasanya aku kenal suara itu,
tiba-tiba jantungku berdetak begitu kencang. Lalu kuurungkan niatku, aku mundur
beberapa langkah. “Tok Tok.. aku pinjam kacamatanya boleh?” Spontan aku
langsung berlari dan membuka pintu, namun aku tak melihat siapapun. Ah, mungkin
aku salah dengar.
Aku jinjing tasku, kemudian kunyalakan motor matic kesayanganku. Belum aku berjalan,
kudengar suara itu lagi. “Aku boleh ikut?”. Seorang lelaki yang parasnya tak
asing lagi bagiku, laki-laki yang sangat aku rindukan. Dia terlihat pucat,
dengan kemeja biru favoritnya dan celana jeans belel lusuh itu. “Hei, aku boleh
ikut, tidak?” Tanyanya lagi. Aku kedipkan mataku berulang kali, sambil kutepuk
kedua pipiku. Aku takut aku sedang bermimpi atau aku sudah gila mungkin. “Mas
Arya? Kaukah itu?” Jtaakk!! Dia menjitak kepalaku seraya berkata, “Tentu saja
ini aku, kau kira hantu? Hahaha.” Kulihat lagi wajahnya, aku masih tidak
percaya, bagaimana mingkin dia di sini.
“A..aapa
yang kau lakukan disini, ma.. maksudku bagaimana kau bisa di sini, Mas?
Seharusnya kau kan di. . .” Mungkin sekarang gantian wajahku yang memucat.
“Di
rumah maksudmu? Iyaa, aku akan pulang, tapi aku ingin bicara denganmu dulu.
Kalau aku kangen, aku iso opo ?”
“Ah,
kau ini mas, ternyata kau yang tidak bisa tanpaku. Mau bicara apa?”
“Ayo,
kita jalan dulu, dua jam lagi gerhana akan muncul, kau tak mau melihatnya?
Setelah itu baru kau antar aku pulang, bagaimana?”
Kemudian
kami duduk di puncak bukit, mungkin matahari bisa terlihat lebih dekat dari
sini.
“Ran,
apa kabar keluarga kita? Ibu? Ayah? Aku sangat merindukan mereka. Kau tahukan
dari kecil mereka dengan telaten merawatku, yah walaupun aku bukan anak kandung
mereka. Lalu kau bagaimana? Sudah adakah lelaki yang kau pilih? Berapa umurmu
sekarang? 24 atau 25? Kurasa ini sudah waktunya, adikku. Kau tak bisa terus
mengurung hatimu tentangku. Mas tau kalau kau menyukai mas lebih dari sekedar
saudara. Mencintai itu hal yang wajar, lumrah. Kau tidak salah mencintaiku.
Waktu kau berusia 17 tahun, aku pernah berkata padamu untuk tidak mendekati
laki-laki tanpa seizinku. Aku berkata seperti itu bukan hanya karena aku takut
kau dipermainkan laki-laki, tapi lebih karena aku sudah lebih dulu mencintaimu.
Kau bukan lagi adik kecilku yang cerewet, yang selalu minta gendong setiap
jatuh dari sepeda. Kau sudah jadi wanita cantik bukan hanya parasmu, tapi juga
hatimu. Dengarkan mas mu ini, ini benar-benar hari terakhir kita bertemu, tapi
kau harus ingat jarak dan waktu tidak akan pernah mengerti rindu kita. Mereka
akan terus melaju tanpa peduli kau berteriak memohon mereka untuk berhenti.
Satu hal yang bisa kau lakukan adalah ikhlas. Karena kau akan menemukan jarak
dan waktumu sendiri. Aku mencintaimu, Rani, adikku.”
Aku
terdiam. Rasanya seperti berada di tempat yang sempit, pengap, dan sesak. Aku
baru saja mendengar apa yang ingin kudengar dua tahun lalu. Apakah ini nyata?
Entah ini nyata atau bukan, aku masih ingin terus mencintaimu, Mas. Setiap
rintik hujan yang dulu kau sebut riuh kini akan menjadi rindu. Bulan yang
menutupi mataharipun telah pulang. Seperti halnya kau, kaupun akan pulang ke
rumahmu.
“Ran,
bangun nak! Bagaimana kau sampai tertidur di sini?”
Pelan
kubuka mataku. Kulihat Ibu dan Ayah disampingku. “Aku di mana?” Tanyaku.
Kemudian kulihat sebongkah nisan bertuliskan Arya Brahmana. “Mas Aryaaa!!!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar