Selasa, 01 Desember 2015

Dua Minggu menjadi Pengajar Muda *Bukan Pahlawan



Awalnya, saya tak mengira bahwa perjalanan yang akhirnya menjadi pengalaman terbaik saya berawal dari sini. Dulu saya pernah berharap atau yah bermimpi menempuh perjalan mewah ke sebuah negara kaya raya di dunia. Negara yang terkenal dengan teknologi hebatnya, arsitektur cantiknya serta sejarah hebatnya. Jerman, yah negara inilah yang pernah saya jadikan mimpi besar untuk saya raih. Namun, Tuhan memberi saya sebuah pengalaman yang tak ternilai harganya. Mungkin akan lebih menarik dari perjalanan saya ke Jerman nanti, hahah.
            Siang itu, saya sedang on line di salah satu jejaring sosial langganan.
Saat memeriksa timeline salah satu group jurusan, saya mendapati undangan terbuka untuk menjadi pengajar muda di sebuah program kampus saya, UIN Suska Mengajar, begitu mereka menamainya. Langsung saja saya hubungi yang bersangkutan, yah kebetulan dia satu jurusan dengan saya. Saya minta formulirnya dan mendaftarkan diri. Beberapa hari kemudian saya mendapati sebuah pesan bahwasanya saya diletakkan sebagai salah satu panitia, bukan pengajar muda. Setelah saya pikir-pikir saya terima saja yang penting saya bisa mengikuti program ini.
            UIN Suska Mengajar mengingatkan saya tentang yayasan yang didirikan oleh Rektor Universitas Paramadina, yah bapak Anies Baswedan. Salah satu tokoh yang saya kagumi karena kepeduliannya di bidang pendidikan dan tentunya kecerdasannya. Apalagi saat ia memimpin debat kandidat presiden 2009 lalu.’Indonesia Mengajar’, yang sudah menginjak angkatan ke VI, merupakan inspirasi dari kegiatan UIN Suska Mengajar ini. Pertama kali saya mengetahui Indonesia Mengajar ini saat mengunjungi salah satu Toko Buku besar di Pekanbaru ini, ‘Indonesia Mengajar 1’ begitu judulnya. Setelah membaca buku yang pertama, saya punya niat besar untuk menjadi salah satu Pengajar Muda di Indonesia Mengajar. Itu juga menjadi salah satu motif terbesar saya saat berniat mengikuti UIN Suska Mengajar. Saya ingin punya pengalaman lebih.
            Beberapa kali mengikuti rapat umum maupun rapat bidang, saya semakin bersemangat dan juga was-was. Bagaimana tidak? Hidup tanpa listrik, tanpa signal dikelilingi hutan. Apa saya sanggup? Pertanyaan itu terus menyosok di depan mata saya. Tapi niat saya tak surut sedikitpun. ‘Ini hal besar’ kalimat itu yang terus saya bisikkan dalam hati.
            “Iyaa? Di pedalaman mana? Ngajar juga? Baguslah, hati-hati aja di sana” itulah pesan orangtua saya saat mendengar saya akan mengikuti kegiatan USM ini.
            Jadwal awal keberangkatan adalah tanggal 19 Februari, namun karena masih banyak yang mengkuti UAS dan beberapa hal yang masih harus dilengkapi kemudian diundur jadi tanggal 31 Januari. Menggunakan dua bus kampus mendekati pukul 00.00, dimulailah perjalanan panjang saya dan teman-teman USM menuju Desa Rantau Langsat Kecamatan Batang Gangsal, Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu tepatnnya perbatasan Prov Riau dan Prov Jambi. Kurang lebih 10 jam perjalanan hingga kami tiba di desa yang nantinya akan meninggalkan sejuta kisah dan kenangan.
            Tidak mudah untuk mencapai desa tersebut, kami dibantu oleh Polsek setempat dengan meminjam mobil khusus untuk mengangkut barang-barang kami serta berkardus-kardus buku yang akan dihibahkan ke sekolah yang ada di desa tersebut. Jarak tempuh dari Desa Siambul menuju Desa Rantau Langsat pulang pergi sekitar satu jam perjalanan. Itupun tidak sekali angkut, hampir 3-4 kali ulang untuk mengangkut keseluruhan. Jalur yang ditempupun bukan jalur aspal di kota, tapi jalur tanah kuning berkerikil yang bila hujan, ahh tak terbayangkan betapa licin dan parahnya jalan ini. Ditambah lagi jalanan yang menurun dan mendaki ini semakin menambah keekstrimannya. Saya dan semua pejuang UIN Suska Mengajar semakin tidak sabar untuk menginjakkan kaki dan yah mengabdi di Desa Rantau Langsat selama tiga minggu ke depan nantinya.
            Hari pertama terlewati dengan cukup berat, yah saya ulangi lagi, tanpa listrik, tanpa sinyal, MCK di sungai kecil dan makan seadanya. Hal yang cukup mengganggu adalah binatang melata kecil yang suka menghisap darah, biasa disebut pacet saudaranya lintah. Di hari-hari awal, binatang ini sungguh menguji kesabaran kami, apalagi untuk perempuan, mereka bisa berteriak histeris jika menemukan binatang kecil ini. Beberapa binatang kami temukan dengan ukuran yang besar, seperti semut dan kelabang abu-abu. Ada juga beberapa jenis monyet, lutung, beruk, dan cigak. Dan tiap malam suara tokek yang sangat teratur menemani tidur kami.
            Satu hal yang benar-benar dan sangat wajib saya curi di desa ini adalah ‘udara bersih’ yang desa ini punya. Hidup tanpa polusi sungguh nyaman, tak seperti di kota yang sudah sulit untuk mendeteksi oksigen. Di sekeliling yang kami lihat hanya hijau, hijau dan hijau. Mulai dari Pohon Duku, Rambutan, Durian, Jambu, Kelapa dan masih banyak lagi. Sebagian besar penduduknya bertani dan berkebun. Jarak antara rumah dan kebun tidaklah dekat, mereka harus mendaki bukit atau melewati sungai terlebih dulu. Lebih lagi mereka berjalan kaki menuju kebunnya yang menempuh waktu 1-2 jam perjalanan. Yang paling menonjol adalah kebun karet dan sawit, sisanya sawah dan lainnya.
            Di Desa Rantau Langsat, kita akan menemukan rumah-rumah panggung sederhana, beberapa masih ada yang beratap rumbia, begitu sederhana. Selain itu juga sebuah sekolah dengan 6 kelasnya, sebuah balai sosial dan masjid kecil. Untuk menuju tempat-tempat tersebut tentu dengan berjalan kaki. Berjalan agak ke hulu, akan kita jumpai Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Tobat (Olahraga Arung Jeram), Air Terjun 7 tingkat dan masih banyak lagi keindahan alam yang tersimpan di dalamnya.
            Di Desa Rantau Langsat sendiri terdapat beberapa dusun, diantaranya Siamang, Pabidayan, Air Buluh, Nunusan, Datai dan Lemang (tempat kami menetap). Karena ini adalah UIN Suska Mengajar, kami tidak hanya mengajar di dusun Lemang saja, tapi juga di dusun-dusun lain yang kami mampu datangi, bahkan termasuk satu dusun dari desa lain. Dusun terdekat dapat dijangkau dengan waktu tempuh 1 jam perjalanan, yang terjauh ada yang sampai 2 jam.
            Hal yang paling menarik dan sangat menyenangkan adalah bertemu anak-anak hebat Desa Rantau Langsat, anak-anak yang setiap hari datang dari berbagai dusun dengan berjalan kaki penuh semangat. Mereka anak-anak kuat, dan yang paling membuat saya bangga adalah karena saya dapat melihat semangat dan senyum mereka terlebih dulu dari anda yang mungkin baru mengenal desa kecil ini dari tulisan saya. Walaupun saya bukan bagian Edukasi, saya diizinkan untuk mengajar di sekolah. Kelas pertama yang saya masuki adalah kelas 1, dengan tingkat keributan yang sangat tinggi, benar-benar menguras tenaga. Di kelas ini saya bertemu Ajor, Indra (Ketua Kelas), Oji, Ezi, dan Riski. Mereka anak kesayangannya saya di kelas 1, selanjutnya kelas IV, disini saya bertemu anak-anak cerdas, Martinus, Penggi, Pausin, Ridho, Jupi, Lili dan Rival. Kemudia di kelas V, ada Rangga (Ketua Kelas), Dendi, Sesi, Rima, Cici, Icha dan lainnya. Kelas IV dan V adalah kelas favorit saya. Selain itu mereka juga tidak ribut dan lebih mudah diatur.
            Panggilan yang paling saya suka adalah ‘Kakak lucu’ itu saya dapat dari Dendi anak kelas V. Saya jadi ketawa-ketawa sendiri, emang saya lucu ya? Hahah. Setiap hari saat bertemu, mereka tidak bosan-bosan untuk menyapa. ‘Kakak’, ‘Ibuk’, ‘Kakak cantik’ dan lainnya. Bukan hanya menyapa, tapi juga mencium tangan layaknya bertemu gurupun mereka lakukan. Baru saja kami sampai di depan pintu gerbang sekolah, mereka sudah berlari menyapa dan meraih tangan kami. Ah, saya rindu sekali dengan mereka.
            Tugas utama kami adalah memberi motivasi dan inspirasi. Kenapa? Karena masih banyak dari mereka yang putus sekolah. Beberapa orangtua mereka berpendapat asal anak mereka sudah pandai berhitung dan membaca sudah cukup. Sayang sekali bukan? Padahal masih banyak yang dapat mereka raih setelah itu. Beberapa dari mereka bahkan ada yang menikah muda, ah bukan muda tapi di bawah umur. Miris.
            Bagaimana dengan ibu-ibu mereka? Kebetulan saya adalah anggota dari DPW (Divisi Pemberdayaan Wanita). Perlu anda ketahui bahwa mengurusi ibu-ibu jauh lebih sulit daripada mengurusi anak-anak. Ibaratnya, anak-anak cukup dipancing permen, nah kalau ibu-ibu butuh pancingan lebih dari itu. Beberapa dari mereka lebih memilih mengikuti pertandingan volly daripada ikut pengajian. Semangatnya kalau diajak masak-masak. Biasanya yang datang cuma 5-6 orang, nah kalau masak-masak bisa nyampe 20 orang. Itupun pengen cepet-cepet karena mau nonton volly. Masih miris. Tapi, tak masalah, begitu saja sudah cukup.
            Pengalaman yang paling ‘waw’ adalah saat mengikuti divisi humas survei ke Dusun Air Buluh. Kami berjalan kurang lebih 6-7 jam pulang pergi dengan berjalan kaki. Jalan yang kami lalui adalah jalan setapak, melewati kebun, masuk keluar hutan, berjalan di tepi jurang, mendaki dan menurun, jalanan yang licin, waspada pacet dan lintah. Jalur yang paling ekstrim bagi saya adalah ketika melewati sungai besar setinggi dada denga arus yang cukup deras (baca:saya ga bisa berenang). Teman-teman bilang saya kelihatan pucat, bagaimana tidak? Saya bisa tenggelam dibawa arus. Setelah melewati sungai itu, saya kira saya akan phobia air, hahah. Ditulisan ini saya mau menyampaikan rasa terimakasih buat temna-teman humas yang sudah jagain saya selama survei, khusus buat bang franky, thank you so much, bro!
            Masa perpisahan adalah bagian paling mengiris hati. Bayangkan saja anak-anak itu datang memeluk kita, meminta kita untuk jangan pergi. Yang lainnya mengintip dari jauh sambil menangis, tak berani menjemput perpisahan. Ah, tak sanggup untuk melanjutkannya.
            Banyak hal lagi yang ingin saya ceritakan. Tapi, di sini saya hanya ingin kita sama-sama mengingat dan menyadari bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang menanti uluran tangan kita di sana, sudahlah, jangan terlalu lama tertipu modernisasinya kota metropolitan! Di sana, saudara kita sedang menunggu cerita kita dan berbagi mimpi besar bersama! Siapapun anda!
            Untuk bapak, ibu, saudara, anak-anakku yang ada di Desa Rantau Langsat, terimakasih, ah tak cukup ternyata waktu 3 minggu itu ya? Saya masih menyimpan rindu tanpa spasi untuk kalian. Anak-anak, jika kalian baca ini, ingat ibu ya? Temui ibu lagi saat kalian sudah jadi orang besar dan berguna, berbanggalah! Ibu, kakak, sayang kalian semua J
            Untuk saudara-saudara saya di UIN Suska Mengajar, terimakasih banyak sudah mau menerima saya selama tiga minggu ini, dan untuk selanjutnya masih tetap menerima saya. Saya minta maaf jika di masa lalu banyak kekhilafan yang saya lakukan. Kita datang ke Desa Rantau Langsat bukan untuk jadi pahlawan dan pulang juga bukan untuk disebut pahlawan. Kita datang untuk mengabdi dan berbagi. Ini tugas kita, kawan! Teruslah jadi langkah kecil tapi dalam jumlah besar untuk sebuah perubahan yang besar pula! Semangat!

*Annisa Fitri, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Anggota Divisi Pemberdayaan Wanita di UIN Suska Mengajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar