Awalnya,
saya tak mengira bahwa perjalanan yang akhirnya menjadi pengalaman terbaik saya
berawal dari sini. Dulu saya pernah berharap atau yah bermimpi menempuh
perjalan mewah ke sebuah negara kaya raya di dunia. Negara yang terkenal dengan
teknologi hebatnya, arsitektur cantiknya serta sejarah hebatnya. Jerman, yah
negara inilah yang pernah saya jadikan mimpi besar untuk saya raih. Namun,
Tuhan memberi saya sebuah pengalaman yang tak ternilai harganya. Mungkin akan
lebih menarik dari perjalanan saya ke Jerman nanti, hahah.
Siang itu, saya sedang on line di salah
satu jejaring sosial langganan.
Saat memeriksa timeline salah satu group jurusan, saya mendapati undangan terbuka untuk menjadi pengajar muda di sebuah program kampus saya, UIN Suska Mengajar, begitu mereka menamainya. Langsung saja saya hubungi yang bersangkutan, yah kebetulan dia satu jurusan dengan saya. Saya minta formulirnya dan mendaftarkan diri. Beberapa hari kemudian saya mendapati sebuah pesan bahwasanya saya diletakkan sebagai salah satu panitia, bukan pengajar muda. Setelah saya pikir-pikir saya terima saja yang penting saya bisa mengikuti program ini.
Saat memeriksa timeline salah satu group jurusan, saya mendapati undangan terbuka untuk menjadi pengajar muda di sebuah program kampus saya, UIN Suska Mengajar, begitu mereka menamainya. Langsung saja saya hubungi yang bersangkutan, yah kebetulan dia satu jurusan dengan saya. Saya minta formulirnya dan mendaftarkan diri. Beberapa hari kemudian saya mendapati sebuah pesan bahwasanya saya diletakkan sebagai salah satu panitia, bukan pengajar muda. Setelah saya pikir-pikir saya terima saja yang penting saya bisa mengikuti program ini.
UIN Suska Mengajar mengingatkan saya
tentang yayasan yang didirikan oleh Rektor Universitas Paramadina, yah bapak
Anies Baswedan. Salah satu tokoh yang saya kagumi karena kepeduliannya di
bidang pendidikan dan tentunya kecerdasannya. Apalagi saat ia memimpin debat
kandidat presiden 2009 lalu.’Indonesia Mengajar’, yang sudah menginjak angkatan
ke VI, merupakan inspirasi dari kegiatan UIN Suska Mengajar ini. Pertama kali
saya mengetahui Indonesia Mengajar ini saat mengunjungi salah satu Toko Buku
besar di Pekanbaru ini, ‘Indonesia Mengajar 1’ begitu judulnya. Setelah membaca
buku yang pertama, saya punya niat besar untuk menjadi salah satu Pengajar Muda
di Indonesia Mengajar. Itu juga menjadi salah satu motif terbesar saya saat
berniat mengikuti UIN Suska Mengajar. Saya ingin punya pengalaman lebih.
Beberapa kali mengikuti rapat umum
maupun rapat bidang, saya semakin bersemangat dan juga was-was. Bagaimana
tidak? Hidup tanpa listrik, tanpa signal dikelilingi hutan. Apa saya sanggup?
Pertanyaan itu terus menyosok di depan mata saya. Tapi niat saya tak surut
sedikitpun. ‘Ini hal besar’ kalimat itu yang terus saya bisikkan dalam hati.
“Iyaa? Di pedalaman mana? Ngajar
juga? Baguslah, hati-hati aja di sana” itulah pesan orangtua saya saat
mendengar saya akan mengikuti kegiatan USM ini.
Jadwal awal keberangkatan adalah
tanggal 19 Februari, namun karena masih banyak yang mengkuti UAS dan beberapa
hal yang masih harus dilengkapi kemudian diundur jadi tanggal 31 Januari.
Menggunakan dua bus kampus mendekati pukul 00.00, dimulailah perjalanan panjang
saya dan teman-teman USM menuju Desa Rantau Langsat Kecamatan Batang Gangsal,
Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu tepatnnya perbatasan Prov Riau dan Prov Jambi.
Kurang lebih 10 jam perjalanan hingga kami tiba di desa yang nantinya akan
meninggalkan sejuta kisah dan kenangan.
Tidak mudah untuk mencapai desa
tersebut, kami
dibantu oleh Polsek setempat dengan meminjam mobil khusus untuk mengangkut
barang-barang kami serta berkardus-kardus buku yang akan dihibahkan ke sekolah
yang ada di desa tersebut. Jarak tempuh dari Desa Siambul menuju Desa Rantau
Langsat pulang pergi sekitar satu jam perjalanan. Itupun tidak sekali angkut,
hampir 3-4 kali ulang untuk mengangkut keseluruhan. Jalur yang ditempupun bukan
jalur aspal di kota, tapi jalur tanah kuning berkerikil yang bila hujan, ahh
tak terbayangkan betapa licin dan parahnya jalan ini. Ditambah lagi jalanan
yang menurun dan mendaki ini semakin menambah keekstrimannya. Saya dan semua
pejuang UIN Suska Mengajar semakin tidak sabar untuk menginjakkan kaki dan yah
mengabdi di Desa Rantau Langsat selama tiga minggu ke depan nantinya.
Hari pertama terlewati dengan cukup
berat, yah saya ulangi lagi, tanpa listrik, tanpa sinyal, MCK di sungai kecil
dan makan seadanya. Hal yang cukup mengganggu adalah binatang melata kecil yang
suka menghisap darah, biasa disebut pacet saudaranya lintah. Di hari-hari awal,
binatang ini sungguh menguji kesabaran kami, apalagi untuk perempuan, mereka
bisa berteriak histeris jika menemukan binatang kecil ini. Beberapa binatang
kami temukan dengan ukuran yang besar, seperti semut dan kelabang abu-abu. Ada
juga beberapa jenis monyet, lutung, beruk, dan cigak. Dan tiap malam suara
tokek yang sangat teratur menemani tidur kami.
Satu hal yang benar-benar dan sangat
wajib saya curi di desa ini adalah ‘udara bersih’ yang desa ini punya. Hidup
tanpa polusi sungguh nyaman, tak seperti di kota yang sudah sulit untuk
mendeteksi oksigen. Di sekeliling yang kami lihat hanya hijau, hijau dan hijau.
Mulai dari Pohon Duku, Rambutan, Durian, Jambu, Kelapa dan masih banyak lagi.
Sebagian besar penduduknya bertani dan berkebun. Jarak antara rumah dan kebun
tidaklah dekat, mereka harus mendaki bukit atau melewati sungai terlebih dulu.
Lebih lagi mereka berjalan kaki menuju kebunnya yang menempuh waktu 1-2 jam
perjalanan. Yang paling menonjol adalah kebun karet dan sawit, sisanya sawah
dan lainnya.
Di Desa Rantau Langsat, kita akan
menemukan rumah-rumah panggung sederhana, beberapa masih ada yang beratap
rumbia, begitu sederhana. Selain itu juga sebuah sekolah dengan 6 kelasnya,
sebuah balai sosial dan masjid kecil. Untuk menuju tempat-tempat tersebut tentu
dengan berjalan kaki. Berjalan agak ke hulu, akan kita jumpai Taman Nasional
Bukit Tigapuluh (TNBT), Tobat (Olahraga Arung Jeram), Air Terjun 7 tingkat dan
masih banyak lagi keindahan alam yang tersimpan di dalamnya.
Di Desa Rantau Langsat sendiri
terdapat beberapa dusun, diantaranya Siamang, Pabidayan, Air Buluh, Nunusan,
Datai dan Lemang (tempat kami menetap). Karena ini adalah UIN Suska Mengajar,
kami tidak hanya mengajar di dusun Lemang saja, tapi juga di dusun-dusun lain
yang kami mampu datangi, bahkan termasuk satu dusun dari desa lain. Dusun
terdekat dapat dijangkau dengan waktu tempuh 1 jam perjalanan, yang terjauh ada
yang sampai 2 jam.
Hal yang paling menarik dan sangat
menyenangkan adalah bertemu anak-anak hebat Desa Rantau Langsat, anak-anak yang
setiap hari datang dari berbagai dusun dengan berjalan kaki penuh semangat.
Mereka anak-anak kuat, dan yang paling membuat saya bangga adalah karena saya
dapat melihat semangat dan senyum mereka terlebih dulu dari anda yang mungkin
baru mengenal desa kecil ini dari tulisan saya. Walaupun saya bukan bagian
Edukasi, saya diizinkan untuk mengajar di sekolah. Kelas pertama yang saya
masuki adalah kelas 1, dengan tingkat keributan yang sangat tinggi, benar-benar
menguras tenaga. Di kelas ini saya bertemu Ajor, Indra (Ketua Kelas), Oji, Ezi,
dan Riski. Mereka anak kesayangannya saya di kelas 1, selanjutnya kelas IV,
disini saya bertemu anak-anak cerdas, Martinus, Penggi, Pausin, Ridho, Jupi,
Lili dan Rival. Kemudia di kelas V, ada Rangga (Ketua Kelas), Dendi, Sesi,
Rima, Cici, Icha dan lainnya. Kelas IV dan V adalah kelas favorit saya. Selain
itu mereka juga tidak ribut dan lebih mudah diatur.
Panggilan yang paling saya suka
adalah ‘Kakak lucu’ itu saya dapat dari Dendi anak kelas V. Saya jadi
ketawa-ketawa sendiri, emang saya lucu ya? Hahah. Setiap hari saat bertemu,
mereka tidak bosan-bosan untuk menyapa. ‘Kakak’, ‘Ibuk’, ‘Kakak cantik’ dan
lainnya. Bukan hanya menyapa, tapi juga mencium tangan layaknya bertemu gurupun
mereka lakukan. Baru saja kami sampai di depan pintu gerbang sekolah, mereka
sudah berlari menyapa dan meraih tangan kami. Ah, saya rindu sekali dengan
mereka.
Tugas utama kami adalah memberi
motivasi dan inspirasi. Kenapa? Karena masih banyak dari mereka yang putus
sekolah. Beberapa orangtua mereka berpendapat asal anak mereka sudah pandai
berhitung dan membaca sudah cukup. Sayang sekali bukan? Padahal masih banyak
yang dapat mereka raih setelah itu. Beberapa dari mereka bahkan ada yang
menikah muda, ah bukan muda tapi di bawah umur. Miris.
Bagaimana dengan ibu-ibu mereka?
Kebetulan saya adalah anggota dari DPW (Divisi Pemberdayaan Wanita). Perlu anda
ketahui bahwa mengurusi ibu-ibu jauh lebih sulit daripada mengurusi anak-anak.
Ibaratnya, anak-anak cukup dipancing permen, nah kalau ibu-ibu butuh pancingan
lebih dari itu. Beberapa dari mereka lebih memilih mengikuti pertandingan volly
daripada ikut pengajian. Semangatnya kalau diajak masak-masak. Biasanya yang
datang cuma 5-6 orang, nah kalau masak-masak bisa nyampe 20 orang. Itupun
pengen cepet-cepet karena mau nonton volly. Masih miris. Tapi, tak masalah,
begitu saja sudah cukup.
Pengalaman yang paling ‘waw’ adalah
saat mengikuti divisi humas survei ke Dusun Air Buluh. Kami berjalan kurang
lebih 6-7 jam pulang pergi dengan berjalan kaki. Jalan yang kami lalui adalah
jalan setapak, melewati kebun, masuk keluar hutan, berjalan di tepi jurang,
mendaki dan menurun, jalanan yang licin, waspada pacet dan lintah. Jalur yang
paling ekstrim bagi saya adalah ketika melewati sungai besar setinggi dada
denga arus yang cukup deras (baca:saya ga bisa berenang). Teman-teman bilang
saya kelihatan pucat, bagaimana tidak? Saya bisa tenggelam dibawa arus. Setelah
melewati sungai itu, saya kira saya akan phobia air, hahah. Ditulisan ini saya
mau menyampaikan rasa terimakasih buat temna-teman humas yang sudah jagain saya selama
survei, khusus buat bang franky, thank
you so much, bro!
Masa perpisahan adalah bagian paling
mengiris hati. Bayangkan saja anak-anak itu datang memeluk kita, meminta kita
untuk jangan pergi. Yang lainnya mengintip dari jauh sambil menangis, tak
berani menjemput perpisahan. Ah, tak sanggup untuk melanjutkannya.
Banyak hal lagi yang ingin saya
ceritakan. Tapi, di sini saya hanya ingin kita sama-sama mengingat dan
menyadari bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang menanti uluran tangan
kita di sana, sudahlah, jangan terlalu lama tertipu modernisasinya kota metropolitan!
Di sana, saudara kita sedang menunggu cerita kita dan berbagi mimpi besar
bersama! Siapapun anda!
Untuk bapak, ibu, saudara,
anak-anakku yang ada di Desa Rantau Langsat, terimakasih, ah tak cukup ternyata
waktu 3 minggu itu ya? Saya masih menyimpan rindu tanpa spasi untuk kalian.
Anak-anak, jika kalian baca ini, ingat ibu ya? Temui ibu lagi saat kalian sudah
jadi orang besar dan berguna, berbanggalah! Ibu, kakak, sayang kalian semua J
Untuk saudara-saudara saya di UIN
Suska Mengajar, terimakasih banyak sudah mau menerima saya selama tiga minggu
ini, dan untuk selanjutnya masih tetap menerima saya. Saya minta maaf jika di
masa lalu banyak kekhilafan yang saya lakukan. Kita datang ke Desa Rantau Langsat bukan untuk jadi pahlawan dan pulang
juga bukan untuk disebut pahlawan. Kita datang untuk mengabdi dan berbagi. Ini
tugas kita, kawan! Teruslah jadi langkah kecil tapi dalam jumlah besar untuk
sebuah perubahan yang besar pula! Semangat!
*Annisa Fitri, Mahasiswa Jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris, Anggota Divisi Pemberdayaan Wanita di UIN Suska Mengajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar