Hijrah
Senja kali ini terasa berbeda, Ji. Tanganmu tak lagi menggenggam tanganku, mata sendumu tak lagi menatapku dengan syahdu. Tidak, semua tak lagi sama, Ji. Suatu kali, kita bersandar di bawah dua pohon kembar ini, orang kampung biasa menyebutnya pohon cinta. Mereka bilang pohon ini lahir bersama, tumbuh bersama, dan keduanya benar-benar mirip. Tak ada yang mau menebang pohon ini, toh siapa yang sanggup menebas cinta yang telah tumbuh lama? Waktu itu kulihat pandanganmu jauh menatap matahari yang kian dalam menyembunyikan sinarnya. Aku hanya memandangmu, tak kuhiraukan jingga yang dipuja banyak pujangga. Kau lebih dari romantisme senja, Ji.
Sudah hampir 5 tahun kita memadu kasih. Kita sudah melakukan apapun yang dilakukan sepasang kekasih pada umumnya. Bahkan, kurasa kadang terlalu jauh kita berbuat. Ji, menyesalkah kau bersamaku? Seminggu sebelum kepergianmu, kau berubah jauh sekali. Kau tak lagi menggenggam tanganku, tak lagi menatapku dengan pandangan syahdu itu. Kau lebih banyak menunduk, mengalihkan setiap perhatianku padamu. Sekali, kutarik tanganmu, berusaha menggenggamnya erat, kau melepaskannya. Pernah, kupeluk kau dari belakang, kau tetap melepaskannya. Padahal dulu, kau selalu menungguku melakukan itu. Ji, apa kau sudah tak mencintaiku lagi?
Berulang kali aku meminta penjelasan darimu, tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutmu. Kau hanya menatapku sebentar dan air wajahmu langsung berubah. Sedih, itu yang kau sampaikan lewat ekspresimu. Kali ini aku benar-benar tak kuasa, Ji. Apa pun keputusanmu, aku akan berusaha menerimanya.
“Aji… “ Kupanggil namamu pelan namun kau tetap saja menatap senja itu, “Katakan saja, Ji!” pintaku yang terus menatap lelah separuh wajahmu.
“Aku ingin hijrah, Ra. Aku ingin pulang, berada sedekat-dekatnya dengan Sang Khalik.”
Aku tertegun, tiba-tiba saja mataku telah menjadi basah seperti ditimpa banjir bandang. Telingaku seakan terkena sambaran petir di siang bolong, hatiku retak kemudian hancur, seperti guci yang terhempas jauh dari puncak gunung. Lidahku kelu, tubuhku mendadak kaku, aku ingin lari sejauh-jauhnya. Aku malu.
Ji, hari itu aku yang pergi lebih dulu, dengan langkah gontai. Aku tau kau juga tak setegar itu. Aku lihat air yang mengalir di sudut matamu, tubuhmu yang bergetar saat itu. Ji, kuikhlaskan kau pergi.
Setahun berlalu, dan ternyata aku masih memikirkanmu, Ji. Tapi bukan Ira yang dulu mengejar tanganmu untuk digenggam, bukan Ira yang berlari memelukmu dari belakang. Aku, Ira yang kau tampar dengan keras hatinya setahun lalu. Dia yang kau tinggalkan untuk kau selamatkan. Sebulan setelah kau pergi untuk menjemput hijrahmu, ibuku meninggal, Ji. Satu-satunya keluargaku yang tersisa telah meninggalkanku. Kini, giliran Sang Khalik yang mengujiku.
Ji, bisa kau bayangkan keadaanku? Entahlah, Ji, sempat aku berpikir Sang Khalik tak adil kepadaku. Dia membiarkanku sendiri dalam ketidaktahuan, sedangkan kau diberi jalan oleh-Nya. Tapi itu tak berlangsung lama, Ji. Aku kembali membuka surat pertama dan terakhirmu setelah kau pergi.
Assalamualaikum, Ira
Bagaimana kabarmu? Semoga kau selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Ra, maafkan aku yang tak sempat mengucap septaah kata pun saat pergi. Sungguh, aku yang lemah. Aku yang takut imanku goyah saat melihat air matamu nantinya. Ra, tidak ada di antara kita yang akan menunggu. yang kita tunggu hanya janji Sang Khalik. Janji yang tak mungkin tak ditepati.
Ra, aku tak benar-benar ingat alasanku hijrah dulu. Tapi, sepertinya Sang Khalik langsung membalik hatiku. Tiba-tiba saja aku merasakan takut yang luar biasa, bahkan aku tak tidur beberapa hari. Sampai aku menemukan sebuah ayat Al-Quran yang menggugah hatiku, Az-Zummar ayat 53. Hatiku yang sebelumnya resah jadi bersyukur, ternyata Sang Khalik memberiku kesempatan untuk memohon ampun.
Ra, aku akan terus mendoakanmu. Semoga Sang Khalik mempertemukan kita di surga kelak. Amin
Aji Setiawan
Aku tahu maksud suratmu itu, Ji. Sebuah ajakan, seruan, dakwah atau apalah namanya. Syukur, Sang Khalik tidak menutup hatiku saat itu hingga aku menjadi seperti sekarang.
“Mbak Ira, ayo dimulai saja kajiannya sore ini.”
“Baiklah, Mbak Mel. Kita mulai saja ya.” Hampir setiap minggu aku ikut membantu mengisi pengajian dari kenalanku yang sudah seperti saudara bagiku, Mbak Melly. Beliau yang mengajariku banyak hal tentang agama.
“Jadi gimana, Ra? Kamu udah ambil keputusan soal Rahmat?” Mbak Mel memulai percakapan sehabis pengajian sore ini.
Dialah Rahmat, satu-satunya pemuda yang kukenal baik beberapa bulan setelah hijrah. Rahmat juga seorang guru bantu di sini, datang dari kota sebagai relawan. Dia pemuda yang baik, religious dan berpendidikan tinggi. Tidak sedikit gadis di sini yang tertarik dengannya, apalagi Rahmat begitu ramah pada semua orang. Seminggu yang lalu ia melamarku lewat Mbak Melly dan suaminya. Rasanya tak mungkin menolak lelaki sebaik Rahmat, tapi tetap saja kenangan tentang Aji masih menyergap waktu-waktu sepiku.
“Menurut Mbak Mel gimana? Aku nurut saja, InsyaAllah kalau niatnya ibadah dilancarkan toh?”
“Loh yang mau nikahkan kamu, Ra? Malah nanya Mbak sih? Ada-ada aja kamu,” tawa Mbak Mel, terlihat lesung pipi di wajahnya yang ayu.
“Mbak udah aku anggap sebagai kakakku sekaligus ibuku. InsyaAllah aku terima pinangan Mas Rahmat,” jawabku begitu tenang.
Ah tidak, aku tidak setenang itu. Dalam perjalanan pulang, bibirku bergetar, penglihatanku dikaburkan oleh genangan di pelupuk mata. Harusnya aku bersyukur sudah datang padaku lelaki yang baik dan sholeh. Bukankah sudah disebutkan dalam beberapa hadist, tentang tidak baiknya menolak lamaran dari dia yang agamanya diridhai Sang Khalik? Sadar, Ra! Jangan biarkan cinta dunia dan hawa nafsu merusak hijrah dan istiqamah kamu selama ini. Belajar ikhlas, Ra, belajar pasrah sama Kehendak-Nya.
Sebelum tiba di rumah, kuayunkan langkahku ke pohon cinta. Bukan untuk mengingat apa atau siapa, tapi untuk bersyukur. Aku baru sadar, pohon ini hanyalah pohon biasa. Pohon yang dengan lugas mengatakan, “Kami berserah pada-Nya.” Toh pohon-pohon ini hanya menunggu dan menerima takdir. Tak pernah meminta untuk dipertemukan di tepi pantai ini.
“Ira…” Kubalikkan tubuhku ke arah suara yang sudah kuhapal belakangan ini. Suara yang berkumandang lima kali dalam sehari. Suara yang mampu membangkitkan orang dari malasnya.
“Rahmat?” Kulihat dia sedang berdiri di depan pohon cinta yang satunya. Tersenyum sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke laut lepas di depan sana.”Tentang lama…”
“Tak perlu bicarakan itu sekarang, Ra. Biar nanti kudengar sendiri dari Mbak Melly saja,” katanya masih tetap menatap lurus ke depan. Tidak ada percakapan lanjutan.
Mata kami sama-sama lurus memandang ke depan. Kurasa pikiran kami juga sama-sama memikirkan masa depan. Toh apa lagi yang dipikirkan pemuda-pemudi selain masa depan dunia dan akhiratnya.
Pesta pernikahan pun digelar, tak mewah memang. Toh kami sama-sama orang yang suka kesederhanaan. Tanpa adat khusus, hanya pakaian khas negara ini, kebaya putih dan penak-peniknya. Tentu saja kepalaku ditutupi hijab syar’i khas agamaku. Begitu pun suamiku, senyumnya menyebarkan keteduhan, seperti semilir yang dengan lembut menerpa wajah-wajah menambah kebahagiaan.
Aji? Sungguh aku meridukannya, sebagai teman baikku. Kita hanya terus menunggu janji Sang khalik dan terus-terusan mempersiapkan diri. Bukankah ikhtiar terbaik adalah melepaskan? Lalu menyerahkan semua pada Pemilik Semesta.
“Ira?” Seorang lelaki berjalan ke arahku. Jelas aku kenal wajah itu, terpatri dalam di ingatanku. Matanya masih saja syahdu, tapi tentu lebih bercahaya dari sebelumnya.
“Aji? Kamu kok bisa datang?” Sungguh, aku tak tahu kenapa aku bisa sebiasa ini berhadapan dengannya. Tak ada lagi gemetar atau perubahan detak jantung semakin cepat dan sebagainya.
“Kamu kenal Aji, Ra?” Rahmat terlihat kaget dan tersenyum.
“Dia temanku, Mat. Kamu lupa aku juga besar di sini?” jawab Aji sambil menepuk lengan Rahmat. Rahmat hanya tetawa saat menyadarinya.
“Lalu bagaimana kalian bisa kenal?” Giliranku bertanya. Ini sungguh jauh dari bayanganku.
“Rahmat yang membantuku waktu kuputuskan merantau dulu, Ra. Aku banyak berhutang budi padanya,” ucap Aji dengan penuh senyum di wajahnya.
”Ah iya, aku juga bawa istriku kemari. Laila, ayo kemari!” tangannya melambai pada seorang wanita yang tengah duduk di kursi tamu. Perutnya menonjol, ah dia sedang hamil. Cantik sekali perempuan ini, sungguh takdir Sang Khalik begitu indah.
Ji, saat itu sudah kita lepaskan semua. Memang tak ada yang lebih manis dari menunggu takdir Sang Khalik, tak ada yang lebih pasti dari janji-Nya. Selamat berbahagia untuk kita, Ji.
Senja kali ini terasa berbeda, Ji. Tanganmu tak lagi menggenggam tanganku, mata sendumu tak lagi menatapku dengan syahdu. Tidak, semua tak lagi sama, Ji. Suatu kali, kita bersandar di bawah dua pohon kembar ini, orang kampung biasa menyebutnya pohon cinta. Mereka bilang pohon ini lahir bersama, tumbuh bersama, dan keduanya benar-benar mirip. Tak ada yang mau menebang pohon ini, toh siapa yang sanggup menebas cinta yang telah tumbuh lama? Waktu itu kulihat pandanganmu jauh menatap matahari yang kian dalam menyembunyikan sinarnya. Aku hanya memandangmu, tak kuhiraukan jingga yang dipuja banyak pujangga. Kau lebih dari romantisme senja, Ji.
Sudah hampir 5 tahun kita memadu kasih. Kita sudah melakukan apapun yang dilakukan sepasang kekasih pada umumnya. Bahkan, kurasa kadang terlalu jauh kita berbuat. Ji, menyesalkah kau bersamaku? Seminggu sebelum kepergianmu, kau berubah jauh sekali. Kau tak lagi menggenggam tanganku, tak lagi menatapku dengan pandangan syahdu itu. Kau lebih banyak menunduk, mengalihkan setiap perhatianku padamu. Sekali, kutarik tanganmu, berusaha menggenggamnya erat, kau melepaskannya. Pernah, kupeluk kau dari belakang, kau tetap melepaskannya. Padahal dulu, kau selalu menungguku melakukan itu. Ji, apa kau sudah tak mencintaiku lagi?
Berulang kali aku meminta penjelasan darimu, tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutmu. Kau hanya menatapku sebentar dan air wajahmu langsung berubah. Sedih, itu yang kau sampaikan lewat ekspresimu. Kali ini aku benar-benar tak kuasa, Ji. Apa pun keputusanmu, aku akan berusaha menerimanya.
“Aji… “ Kupanggil namamu pelan namun kau tetap saja menatap senja itu, “Katakan saja, Ji!” pintaku yang terus menatap lelah separuh wajahmu.
“Aku ingin hijrah, Ra. Aku ingin pulang, berada sedekat-dekatnya dengan Sang Khalik.”
Aku tertegun, tiba-tiba saja mataku telah menjadi basah seperti ditimpa banjir bandang. Telingaku seakan terkena sambaran petir di siang bolong, hatiku retak kemudian hancur, seperti guci yang terhempas jauh dari puncak gunung. Lidahku kelu, tubuhku mendadak kaku, aku ingin lari sejauh-jauhnya. Aku malu.
Ji, hari itu aku yang pergi lebih dulu, dengan langkah gontai. Aku tau kau juga tak setegar itu. Aku lihat air yang mengalir di sudut matamu, tubuhmu yang bergetar saat itu. Ji, kuikhlaskan kau pergi.
Setahun berlalu, dan ternyata aku masih memikirkanmu, Ji. Tapi bukan Ira yang dulu mengejar tanganmu untuk digenggam, bukan Ira yang berlari memelukmu dari belakang. Aku, Ira yang kau tampar dengan keras hatinya setahun lalu. Dia yang kau tinggalkan untuk kau selamatkan. Sebulan setelah kau pergi untuk menjemput hijrahmu, ibuku meninggal, Ji. Satu-satunya keluargaku yang tersisa telah meninggalkanku. Kini, giliran Sang Khalik yang mengujiku.
Ji, bisa kau bayangkan keadaanku? Entahlah, Ji, sempat aku berpikir Sang Khalik tak adil kepadaku. Dia membiarkanku sendiri dalam ketidaktahuan, sedangkan kau diberi jalan oleh-Nya. Tapi itu tak berlangsung lama, Ji. Aku kembali membuka surat pertama dan terakhirmu setelah kau pergi.
Assalamualaikum, Ira
Bagaimana kabarmu? Semoga kau selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Ra, maafkan aku yang tak sempat mengucap septaah kata pun saat pergi. Sungguh, aku yang lemah. Aku yang takut imanku goyah saat melihat air matamu nantinya. Ra, tidak ada di antara kita yang akan menunggu. yang kita tunggu hanya janji Sang Khalik. Janji yang tak mungkin tak ditepati.
Ra, aku tak benar-benar ingat alasanku hijrah dulu. Tapi, sepertinya Sang Khalik langsung membalik hatiku. Tiba-tiba saja aku merasakan takut yang luar biasa, bahkan aku tak tidur beberapa hari. Sampai aku menemukan sebuah ayat Al-Quran yang menggugah hatiku, Az-Zummar ayat 53. Hatiku yang sebelumnya resah jadi bersyukur, ternyata Sang Khalik memberiku kesempatan untuk memohon ampun.
Ra, aku akan terus mendoakanmu. Semoga Sang Khalik mempertemukan kita di surga kelak. Amin
Aji Setiawan
Aku tahu maksud suratmu itu, Ji. Sebuah ajakan, seruan, dakwah atau apalah namanya. Syukur, Sang Khalik tidak menutup hatiku saat itu hingga aku menjadi seperti sekarang.
“Mbak Ira, ayo dimulai saja kajiannya sore ini.”
“Baiklah, Mbak Mel. Kita mulai saja ya.” Hampir setiap minggu aku ikut membantu mengisi pengajian dari kenalanku yang sudah seperti saudara bagiku, Mbak Melly. Beliau yang mengajariku banyak hal tentang agama.
“Jadi gimana, Ra? Kamu udah ambil keputusan soal Rahmat?” Mbak Mel memulai percakapan sehabis pengajian sore ini.
Dialah Rahmat, satu-satunya pemuda yang kukenal baik beberapa bulan setelah hijrah. Rahmat juga seorang guru bantu di sini, datang dari kota sebagai relawan. Dia pemuda yang baik, religious dan berpendidikan tinggi. Tidak sedikit gadis di sini yang tertarik dengannya, apalagi Rahmat begitu ramah pada semua orang. Seminggu yang lalu ia melamarku lewat Mbak Melly dan suaminya. Rasanya tak mungkin menolak lelaki sebaik Rahmat, tapi tetap saja kenangan tentang Aji masih menyergap waktu-waktu sepiku.
“Menurut Mbak Mel gimana? Aku nurut saja, InsyaAllah kalau niatnya ibadah dilancarkan toh?”
“Loh yang mau nikahkan kamu, Ra? Malah nanya Mbak sih? Ada-ada aja kamu,” tawa Mbak Mel, terlihat lesung pipi di wajahnya yang ayu.
“Mbak udah aku anggap sebagai kakakku sekaligus ibuku. InsyaAllah aku terima pinangan Mas Rahmat,” jawabku begitu tenang.
Ah tidak, aku tidak setenang itu. Dalam perjalanan pulang, bibirku bergetar, penglihatanku dikaburkan oleh genangan di pelupuk mata. Harusnya aku bersyukur sudah datang padaku lelaki yang baik dan sholeh. Bukankah sudah disebutkan dalam beberapa hadist, tentang tidak baiknya menolak lamaran dari dia yang agamanya diridhai Sang Khalik? Sadar, Ra! Jangan biarkan cinta dunia dan hawa nafsu merusak hijrah dan istiqamah kamu selama ini. Belajar ikhlas, Ra, belajar pasrah sama Kehendak-Nya.
Sebelum tiba di rumah, kuayunkan langkahku ke pohon cinta. Bukan untuk mengingat apa atau siapa, tapi untuk bersyukur. Aku baru sadar, pohon ini hanyalah pohon biasa. Pohon yang dengan lugas mengatakan, “Kami berserah pada-Nya.” Toh pohon-pohon ini hanya menunggu dan menerima takdir. Tak pernah meminta untuk dipertemukan di tepi pantai ini.
“Ira…” Kubalikkan tubuhku ke arah suara yang sudah kuhapal belakangan ini. Suara yang berkumandang lima kali dalam sehari. Suara yang mampu membangkitkan orang dari malasnya.
“Rahmat?” Kulihat dia sedang berdiri di depan pohon cinta yang satunya. Tersenyum sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke laut lepas di depan sana.”Tentang lama…”
“Tak perlu bicarakan itu sekarang, Ra. Biar nanti kudengar sendiri dari Mbak Melly saja,” katanya masih tetap menatap lurus ke depan. Tidak ada percakapan lanjutan.
Mata kami sama-sama lurus memandang ke depan. Kurasa pikiran kami juga sama-sama memikirkan masa depan. Toh apa lagi yang dipikirkan pemuda-pemudi selain masa depan dunia dan akhiratnya.
Pesta pernikahan pun digelar, tak mewah memang. Toh kami sama-sama orang yang suka kesederhanaan. Tanpa adat khusus, hanya pakaian khas negara ini, kebaya putih dan penak-peniknya. Tentu saja kepalaku ditutupi hijab syar’i khas agamaku. Begitu pun suamiku, senyumnya menyebarkan keteduhan, seperti semilir yang dengan lembut menerpa wajah-wajah menambah kebahagiaan.
Aji? Sungguh aku meridukannya, sebagai teman baikku. Kita hanya terus menunggu janji Sang khalik dan terus-terusan mempersiapkan diri. Bukankah ikhtiar terbaik adalah melepaskan? Lalu menyerahkan semua pada Pemilik Semesta.
“Ira?” Seorang lelaki berjalan ke arahku. Jelas aku kenal wajah itu, terpatri dalam di ingatanku. Matanya masih saja syahdu, tapi tentu lebih bercahaya dari sebelumnya.
“Aji? Kamu kok bisa datang?” Sungguh, aku tak tahu kenapa aku bisa sebiasa ini berhadapan dengannya. Tak ada lagi gemetar atau perubahan detak jantung semakin cepat dan sebagainya.
“Kamu kenal Aji, Ra?” Rahmat terlihat kaget dan tersenyum.
“Dia temanku, Mat. Kamu lupa aku juga besar di sini?” jawab Aji sambil menepuk lengan Rahmat. Rahmat hanya tetawa saat menyadarinya.
“Lalu bagaimana kalian bisa kenal?” Giliranku bertanya. Ini sungguh jauh dari bayanganku.
“Rahmat yang membantuku waktu kuputuskan merantau dulu, Ra. Aku banyak berhutang budi padanya,” ucap Aji dengan penuh senyum di wajahnya.
”Ah iya, aku juga bawa istriku kemari. Laila, ayo kemari!” tangannya melambai pada seorang wanita yang tengah duduk di kursi tamu. Perutnya menonjol, ah dia sedang hamil. Cantik sekali perempuan ini, sungguh takdir Sang Khalik begitu indah.
Ji, saat itu sudah kita lepaskan semua. Memang tak ada yang lebih manis dari menunggu takdir Sang Khalik, tak ada yang lebih pasti dari janji-Nya. Selamat berbahagia untuk kita, Ji.
Aaaaa, Nisa. Aku sedih bacanya :"( merasa tertampar juga :"(
BalasHapus