Quaility time dengan Tuhan malam ini masih membicarakan si dia. Ini sudah tahun kedua aku serius membicarakannya. Bukan apa-apa, tapi waktuku tak banyak. Deadline hanya tinggal 6 bulan lagi, tepat ulang tahunku ke 26.
"Nah, Ina umur kamu bentar lagi 26 tahun kan? Kamu juga udah lulus S2. Tahun ini kamu harus nikah! Deal." Tepat enam bulan sebelum ulang tahunku, bukannya kado yang kudapatkan tapi tagihan hutang.
"Doakan saja, Ma. Ini Ina juga usaha kok. Ya jodohnya aja belum nyampe," kataku menenangkan. Di usiaku yang segini dan titel Magister yang baru kudapatkan membuatku kesulitan menemukan pendamping. Entah mental apa yang domelike laki-laki itu. Hampir semua taarufku gagal karena aku lulusan S2. Bukan hanya laki-laki yang cuma tamatan S1 tapi S2-pun menolak. Takut terintimidasi katanya.
"Pokoknya mama gak mau tau caranya, Na. Kamu harus nikah tahun ini. Mama ini udah tua, mau nimang cucu. Cuma mama lah yang belum punya cucu," lanjut mama dengan nada mengiba atau memaksa, entahlah. “Papa juga mau kamu segera nikah, nunggu apa lagi sih, Nak?” Aku diam. Bosan menjawab pertanyaan yang sama. “Jodohnya yang belum datang, Ma.”
Hampir tiap bulan mama dan papa bergantian menanyakan calon pendamping kepadaku. Sudah banyak nama yang disodorkan, tapi ya begitulah, gagal. Mama menutup telponnya meninggalkanku yang semakin kelabu dengan deadline absurd ini. Umurku ini baru 26 tahun, masih jauh menuju angka 30. Tapi kenapa hampir semua orang sudah sibuk mendesakku untuk menikah? Aku bahkan masih bisa melanjutkan sekolah jika mau.
Seperti hari ini, temanku Risa ingin mengenalkanku lagi dengan salah satu kenalannya. Jelas ini bukan pertama kalinya, ini yang kesekian kalinya dalam dua tahun terakhir. Entah laki-laki mana lagi, mulai dari guru, pengusaha, polisi, bahkan dokter. Tidak ada yang berhasil. Bukan aku terlalu pemilih, entahlah ada saja yang tak cocok, paling sering adalah beda pandangan masa depan atau si laki merasa minder.
"Na, kamu jangan lupa datang ya sore ini. Kali ini InsyaAllah cocok deh, aku udah kepoin duluan, ya ya?" Tanpa salam, Risa langsung menyerocos memintaku datang.
"InsyaAllah, Ris. Aku datang asal ada temennya," sahutku sambil terus memandangi laptopku, terbuka sebuah file bertulis CV taaruf yang sudah kusiapkan sejak lama. Entah kapan CV ini akan kuserahkan pada Ustadzah. Aku masih ragu pada diriku sendiri. Mungkin jika perkenalanku kali ini gagal, baru kuserahkan.
***
"Ari," katanya sambil menjulurkan tangan kanan kepadaku. Kusatukan kedua tanganku dan kuangkat ke dada, "Ani," jawabku.
Sekitar satu jam kami mengobrol bersama. Sejauh ini Ari masih terlihat baik. Kulitnya putih dengan kaca mata persegi menggantung di hidungnya. Kumis serta brewok tipis melengkapi komposisi wajahnya yang memang tampan itu. Tatanan rambut klimis belahan samping ke arah kanan, jelas menonjolkan tipe pegawai profesional.
"Sholat shubuhnya gimana?" tanyaku langsung. Pertanyaan utama yang akan kulemparkan ke tiap lelaki yang diperkenalkan kepadaku.
"Kenapa dengan sholat shubuh?" Ari malah balik bertanya kepadaku. Apa maksud laki-laki ini?
"Ya aku ingin tahu bagaimana sholat shubuhmu? Kamu tinggal menjawab saja," dahiku mengerut, menunggu jawaban laki-laki aneh ini.
"Apa harus kuberitahu bagaimana ibadahku dengan Tuhanku kepadamu? Tidak bisakah itu jadi urusanku dan Tuhanku saja?" Plak. Aku terkejut mendengar jawabannya. Risa memandangiku, matanya mengerut, menyipit keheranan.
Aku tidak menjawab. Kami terdiam beberapa saat.
"Aku tahu maksudmu, An." Ari melanjutkan percakapannya. Tangannya mengangkat cangkir kopi di atas meja. "Banyak sekali wanita yang sudah aku temui. Pertanyaan pertama rata-rata, pekerjaan, keluarga dan duniawi sebagainya," tangannya masih menggantung cangkir kopi, dia menatapku. Kutundukkan saja wajahku, kupandangi coklat panas di gelasku. Wangi coklat ini menenangkan hatiku yang mulau berdetak tak karuan.
"Apa yang ingin kamu katakan sebenarnya?" tanyaku yang masih merunduk, penasaran dengan kelanjutan pernyataannya.
"InsyaAllah, setelah sholat shubuh minggu depan, aku akan menemui orangtuamu." Mataku terbelalak, bertemu pandang dengan matanya yang syahdu dibalik kacamata perseginya itu. Segera kualihkan pandanganku pada Risa. Ternyata Risa pun menunjukkan ekspresi yang sama ditambah senyum tertahan.
Sejak hari itu kami tidak pernah berkomunikasi. Aku menahan diriku untuk bahkan bertanya tentangnya pada Risa. Dia pun tak pernah menghubungku.
***
"Nak, kamu di mana? Ini Ari sudah datang bersama keluarganya." Telpon mama pagi ini mengejutkanku. Ari datang ke rumah? Keluarga? Kulihat tanggal di smartphone, 27 Agustus tepat seminggu setelah pertemuan pertama kami. Dia menepati janjinya. Tapi bagaimana bisa? Dia bahkan tak memberitahuku sama sekali.
Sesampainya di rumah sudah banyak sekali sanak keluarga yang datang. Mama langsung mendatangiku.
“Selamat yaa, anak mama. Terima kasih udah menuhin deadline nikahnya,” ucap mama sembari memelukku.
Dari jauh, Ari tersenyum menatapku. Terima kasih Ya Allah.
"Nah, Ina umur kamu bentar lagi 26 tahun kan? Kamu juga udah lulus S2. Tahun ini kamu harus nikah! Deal." Tepat enam bulan sebelum ulang tahunku, bukannya kado yang kudapatkan tapi tagihan hutang.
"Doakan saja, Ma. Ini Ina juga usaha kok. Ya jodohnya aja belum nyampe," kataku menenangkan. Di usiaku yang segini dan titel Magister yang baru kudapatkan membuatku kesulitan menemukan pendamping. Entah mental apa yang domelike laki-laki itu. Hampir semua taarufku gagal karena aku lulusan S2. Bukan hanya laki-laki yang cuma tamatan S1 tapi S2-pun menolak. Takut terintimidasi katanya.
"Pokoknya mama gak mau tau caranya, Na. Kamu harus nikah tahun ini. Mama ini udah tua, mau nimang cucu. Cuma mama lah yang belum punya cucu," lanjut mama dengan nada mengiba atau memaksa, entahlah. “Papa juga mau kamu segera nikah, nunggu apa lagi sih, Nak?” Aku diam. Bosan menjawab pertanyaan yang sama. “Jodohnya yang belum datang, Ma.”
Hampir tiap bulan mama dan papa bergantian menanyakan calon pendamping kepadaku. Sudah banyak nama yang disodorkan, tapi ya begitulah, gagal. Mama menutup telponnya meninggalkanku yang semakin kelabu dengan deadline absurd ini. Umurku ini baru 26 tahun, masih jauh menuju angka 30. Tapi kenapa hampir semua orang sudah sibuk mendesakku untuk menikah? Aku bahkan masih bisa melanjutkan sekolah jika mau.
Seperti hari ini, temanku Risa ingin mengenalkanku lagi dengan salah satu kenalannya. Jelas ini bukan pertama kalinya, ini yang kesekian kalinya dalam dua tahun terakhir. Entah laki-laki mana lagi, mulai dari guru, pengusaha, polisi, bahkan dokter. Tidak ada yang berhasil. Bukan aku terlalu pemilih, entahlah ada saja yang tak cocok, paling sering adalah beda pandangan masa depan atau si laki merasa minder.
"Na, kamu jangan lupa datang ya sore ini. Kali ini InsyaAllah cocok deh, aku udah kepoin duluan, ya ya?" Tanpa salam, Risa langsung menyerocos memintaku datang.
"InsyaAllah, Ris. Aku datang asal ada temennya," sahutku sambil terus memandangi laptopku, terbuka sebuah file bertulis CV taaruf yang sudah kusiapkan sejak lama. Entah kapan CV ini akan kuserahkan pada Ustadzah. Aku masih ragu pada diriku sendiri. Mungkin jika perkenalanku kali ini gagal, baru kuserahkan.
***
"Ari," katanya sambil menjulurkan tangan kanan kepadaku. Kusatukan kedua tanganku dan kuangkat ke dada, "Ani," jawabku.
Sekitar satu jam kami mengobrol bersama. Sejauh ini Ari masih terlihat baik. Kulitnya putih dengan kaca mata persegi menggantung di hidungnya. Kumis serta brewok tipis melengkapi komposisi wajahnya yang memang tampan itu. Tatanan rambut klimis belahan samping ke arah kanan, jelas menonjolkan tipe pegawai profesional.
"Sholat shubuhnya gimana?" tanyaku langsung. Pertanyaan utama yang akan kulemparkan ke tiap lelaki yang diperkenalkan kepadaku.
"Kenapa dengan sholat shubuh?" Ari malah balik bertanya kepadaku. Apa maksud laki-laki ini?
"Ya aku ingin tahu bagaimana sholat shubuhmu? Kamu tinggal menjawab saja," dahiku mengerut, menunggu jawaban laki-laki aneh ini.
"Apa harus kuberitahu bagaimana ibadahku dengan Tuhanku kepadamu? Tidak bisakah itu jadi urusanku dan Tuhanku saja?" Plak. Aku terkejut mendengar jawabannya. Risa memandangiku, matanya mengerut, menyipit keheranan.
Aku tidak menjawab. Kami terdiam beberapa saat.
"Aku tahu maksudmu, An." Ari melanjutkan percakapannya. Tangannya mengangkat cangkir kopi di atas meja. "Banyak sekali wanita yang sudah aku temui. Pertanyaan pertama rata-rata, pekerjaan, keluarga dan duniawi sebagainya," tangannya masih menggantung cangkir kopi, dia menatapku. Kutundukkan saja wajahku, kupandangi coklat panas di gelasku. Wangi coklat ini menenangkan hatiku yang mulau berdetak tak karuan.
"Apa yang ingin kamu katakan sebenarnya?" tanyaku yang masih merunduk, penasaran dengan kelanjutan pernyataannya.
"InsyaAllah, setelah sholat shubuh minggu depan, aku akan menemui orangtuamu." Mataku terbelalak, bertemu pandang dengan matanya yang syahdu dibalik kacamata perseginya itu. Segera kualihkan pandanganku pada Risa. Ternyata Risa pun menunjukkan ekspresi yang sama ditambah senyum tertahan.
Sejak hari itu kami tidak pernah berkomunikasi. Aku menahan diriku untuk bahkan bertanya tentangnya pada Risa. Dia pun tak pernah menghubungku.
***
"Nak, kamu di mana? Ini Ari sudah datang bersama keluarganya." Telpon mama pagi ini mengejutkanku. Ari datang ke rumah? Keluarga? Kulihat tanggal di smartphone, 27 Agustus tepat seminggu setelah pertemuan pertama kami. Dia menepati janjinya. Tapi bagaimana bisa? Dia bahkan tak memberitahuku sama sekali.
Sesampainya di rumah sudah banyak sekali sanak keluarga yang datang. Mama langsung mendatangiku.
“Selamat yaa, anak mama. Terima kasih udah menuhin deadline nikahnya,” ucap mama sembari memelukku.
Dari jauh, Ari tersenyum menatapku. Terima kasih Ya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar