Terik
matahari siang itu kian menambah garis-garis kasar khas kerutan di wajah Pak Jono. Menambah tetesan
peluh di sekujur tubuhnya yang memang telah basah sejak ia mulai mendorong
dagangannya dari rumahnya yang berjarak 4 km dari tempat
ia berdagang sekarang. Tubuhnya yang tidak begitu kekar terlihat masih cukup kuat
untuk melakukan aktivitas yang berat sekalipun. Walaupun sesekali ia nampak
memutar-mutar pinggang dan memukul pundaknya yang mungkin kram. Hanya satu hal
yang tak pernah terlihat letih kulihat darinya,
senyumnya. Ya, senyumnya tak pernah luput dari setiap geraknya.
senyumnya. Ya, senyumnya tak pernah luput dari setiap geraknya.
“Pak! Seperti biasa ya?” pintaku.
“Tiga tusuk, dihangusin dikit kan neng?” jawabnya pasti.
“Yoi, Pak! Tahu aja nih!” sahutku semangat. Setiap pulang sekolah, hamper tanpa absen aku selalu
membeli bakso bakar milik Pak Jono. Aku sudah mencoba semua dagangan, tapi
bakso bakar Pak Jono lah yang paling maknyus.
“Iya tahu, kan tiap hari neng beli bakso bakar di sini.
Oh ya, dapat salam dari anak bapak, si Rani. Katanya kapan Kak Ayu main ke rumah
lagi?”
“Hoho, insyaAllah dalam minggu ini
Ayu mau main ke sana. Ada buku baru yang mau Ayu perlihatkan. Sampaikan pada
Rani ya, Pak!”
“Waah, Rani pasti senang ini, neng
Ayu mau datang. Ini neng, pesanannya.”
“Terimakasih, Pak!” sahutku dan
berlalu meninggalkan Pak Jono.
Teman-temanku
banyak yang heran kenapa aku bisa kenal dengan keluarga Pak Jono. Rasa
penasaranku dan kekagumanku padanya itulah yang membuatku bisa mengenal
keluarganya. Suatu hari sepulang sekolah, aku melihat Pak Jono membawa Rani
saat berdagang. Rani adalah anak yang cerdas, cantik dan cukup bijak. Aku
sangat menyayangi Rani, ia sudah kuanggap seperti adikku sendiri karena akupun
adalah anak tunggal. Beberapa hari kemudian aku diajak bermain ke rumahnya,
tentu dengan berjalan kaki. Untungnya aku memang suka berjalan kaki, jadi tidak
terlalu berat untukku berjalan ke rumahnya yang cukup jauh itu.
Di rumah yang sebenarnya tak
layak untuk ditinggali itu, air mataku menetes. Rumah itu hanya seukuran
kamarku. Rumah kayu beratap rumbia dengan satu jendela itu menampar batinku
dengan keras. Membuatku menggigil membayangkan beratnya kehidupan yang harus
dilewati gadis kecil ini. Pandanganku beralih ke sosok di atas tikar lusuh,
kulihat seorang wanita tua yang sepertinya sedang sakit keras. Bisa kutebak,
itu adalah ibu Rani. Ibu rani menderita strock dan komplikasi ginjal. Kembali,
aku terharu saat melihat Rani yang langsung memeluk ibunya dan memberitakan tentang
kedatanganku. Kusalami ibunya dan tiba-tiba ia menarik tubuhku dalam pelukannya.
“Terimakasih ya, Nak?” begitu
yang kudengar.
Aku
pernah bertanya kenapa ibu tidak dibawa ke rumah sakit untuk diobati, tapi Pak
Jono cuma tersenyum dan menjelaskan, “Neng
Ayu bisa lihat sendiri keadaan bapak dan keluarga. Bapak bukan tidak mau, jika
bisa bapak akan lebih bekerja keras lagi mencari uang. Tapi ibu yang terus
menolak diobati, katanya sayang uangnya bisa ditabung buat sekolah Rani. Lah
bapak bisa ga bisa apa-apa. Ibu sudah pasrah sekali dengan penyakitnya.”
Mendengarnya aku hanya bisa terdiam.
Beberapa
hari kemudian, aku datangi lagi Pak Jono untuk menawarkan bantuan pengobatan
untuk ibu. Tapi jawaban Pak Jono benar-benar membuatku merinding. Seperti malaikat
maut semakin jelas menyosok dihadapanku.
“Terima
kasih Neng Ayu atas niat baiknya. Maaf bapak harus menolaknya sekarang. Bisakah
Neng Ayu simpan dulu uangnya? Bapak takut umur bapak tidak panjang dan tidak
mampu mengembalikannya. Jika memangpun begitu, maukah Neng Ayu menjaga Rani
nanti saat bapak dan ibu sudah tidak ada? Maaf, bapak malah membebankan Rani
kepada Neng Ayu. Hanya Ayu lah yang bapak percayai unuk menjaga Rani. Tapi,
tetap bapak berharap dapat memilki umur panjang untuk menjaga Rani sampai ia
dewasa.” Sampai disitu, air mataku mengalir dengan derasnya. Aku benar-benar
tak kuasa menahan rasa haru, miris tapi juga bangga bisa mengenal Pak Jono.
“Pak,
InsyaAllah Ayu akan menjaga amanah bapak untuk menjaga Rani. Karena Rani sudah
Ayu anggap seperti adik sendiri. Keluarga Ayupun menyayangi Rani dengan tulus.
Semua orang akan dengan mudah menyayangi anak baik dan cerdas seperti Rani.”
“Terima
kasih ya, Neng Ayu. Maaf bapak malah
merepotkan Neng. Semoga segala kebaikan Neng Ayu menjadi ladang pahala di
akhirat kelak. Amin.”
Begitulah
akhir perbincanganku dengan Pak Jono sore itu. Semenjak hari itu, aku jadi
semakin bersemangat menjalani hidup. Bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi
juga untuk orang-orang di sekitarku. Toh , kita hidup memang untuk berbagi.
Tuhan memberikan kelebihan untuk sebahagian manusia agar bisa berbagi ke
sebahagian yang lain. Apapun bentuknya asalkan bermanfaat semuanya akan dibalas
dengan setimpal bahkan lebih dari yang kita bisa bayangkan.
Aku
semakin sering main ke rumah Rani dan hal yang wajib
aku bawa adalah buku,
karena Rani suka sekali membaca. Pengetahuan umumnya bahkan lebih baik dariku.
Kadang aku jadi malu pada diriku sendiri. Bahkan aku pernah ikut membantu Pak
Jono membuat bakso bakar dagangannya. Walaupun rumahnya tak layak, tapi Pak
Jono sangat menjaga kebersihan dagangannya. Ranilah yang paling bersemangat
membantu ayahnya sepulang sekolah.
Aku juga membantu Rani sesekali mengurus ibu Rani, bu Jumi.
Bu
Jumi juga tidak kalah tangguh jika dibandingkan dengan suaminya, Pak Jono.
Beliau sering sekali memberiku petuah-petuah kehidupan. Pernah suatu hari
ketika aku sedang sibuk bermain denga Rani, dia datang merangkul pundakku.
Padahal tubuhnya sangat lemah saat itu, tapi tetap beliau dengan sigap menopang
badannya yang kurus itu.
“Neng
Ayu, nanti saat sudah waktunya, kamu akan disulitkan dengan banyaknya pilihan
yang datang padamu. Entah itu sekolah, pekerjaan ataupun jodoh nantinya.
Nasehat sederhana ibu ini semoga dapat membantu kamu nanti. Jika ada pilihan
menghampirimu, yang paling pertama adalah kamu harus berani memilih. Pilihan
terbaik adalah pilihanmu sendiri, bukan pilihan orang lain.”
Sampai disitu aku tertegun mendengar nasehat Bu Jumi.
Mungkin terdengar biasa saja. Tapi karena datang dari wanita biasa ini yang
bahkan untuk mengeluh saja sulit, terasa sekali aura kebaikan itu. “Dan pilihan
kamu juga harus sejalan dengan pilihan Allah swt.” Bu Jumi meneruskan, “karena
tidak ada yang bisa kita perbuat selain dengan izinNya kan? Ibu ini bukan
sarjana, tamat sekolah menengah saja tidak karena tidak punya uang. Itu bukan
pilihan ibu, ibu menyerah pada pilihan orangtua ibu. Padahal bisa saja ibu
lanjutkan sekolah ibu dengan bekerja kecil-kecilan. Tapi ibu mengalah, itu yang
ibu sesalkan sampai sekarang.”
Bu Jumi meneteskan air mata di sela-sela kisahnya. Dia
tersenyum pilu, tapi kesedihan itu tampak jelas di matanya. Dielus-elusnya
kepala Rani yang masih asik dengan mainannya. “Makanya, ibu sangat ingin Rani
terus melanjutkan sekolahnya. Dia anak yang pintarkan, Yu? Sayang kalau cuma
kebagian cuci-cuci di rumah orang.”
Tanpa sadar meneteslah bening-bening bukti keharuan di
pipiku. Bagi orangtua yang punya asuransi di mana-mana mungkin tidak ada
kekhawatiran di hatinya seperti yang dialami Bu Jumi. Bahkan juga orangtuaku.
Syukur, oragtuaku bukan tipe orangtua yang gila kerjaan. Mereka selalu
menyediakan waktu untuk anak semata wayangnya ini.
“Rani
kalau sudah besar, cita-citanya jadi apa?” tanyaku
disela-sela membantu Pak Jono.
“Rani mau seperti Kak Ayu, cantik,
baik, terus pintar lagi.” jawabnya
polos.
Aku terdiam sesaat. “Adikku, Rani,
kamu itu harus lebih baik, lebih cantik dan lebih pintar dari kakak, kamu harus
belajar yang rajin, biar bisa bantu ayah dan ibumu nanti. Terus bisa beli buku
yang banyak sekali.” kataku
sembari mengelus pipinya. Rani pun
hanya mengangguk dan tersenyum.
*-*
Hari ini aku datang lagi ke rumah Rani, aku
datang sendiri karena aku tak melihat Pak Jono berdagang di sekolah.
Sesampainya di rumah kecil itu, aku melihat kerumunan orang di rumah. Aku
melihat Rani yang menangis digendong Pak Jono. Bendera putih yang terpasang di
depan rumah itu membuat bulu romaku bergidik. Aku berlari ke dalam rumah dan
mendapati ibu Rani telah tiada. Ranipun berlari ke arahku dan memelukku sambil
meraung-raung. Akupun tak dapat menahan kesedihanku.
“Kak, ibu kak, ibu pergi, kak!” raungnya kepadaku.
Aku tak sanggup melihatnya. Kupeluk
ia erat sekali,
“Allah sayang sekali dengan ibu Rani, Allah sudah rindu dengan ibu, tapi Rani
tenang saja, ibu akan lebih bahagia bersama Allah di sana.”
“Benarkah kak? Kalau Rani rindu
dengan ibu bagaimana?”
“Rani berdoa yang banyak untuk ibu,
ya. Dengan itu rindu Rani akan sampai pada ibu.”
“Kakak, Rani sayang ibu, Rani akan
berdoa untuk Ibu,”
katanya padaku masih
dalam senggukannya menahan tangis. Kulihat Pak Jono lebih tegar, mungkin ini
yang terbaik untuk istri yang dicintainya itu.
*-*
“Kak Ayu! Rani dapat juara lomba menulis
cerpen! Ini pialanya!” Teriak ayu, saat aku tiba di rumahnya. Sekarang Rani
sudah kelas 1 SMA, dan aku sedang melanjutkan kuliahku jurusan Ilmu Komunikasi.
“Benarkah? Waah hebat sekali Rani?
Ini hadiah buku dari kakak karena Rani sudah juara.”
“Horeee! Rani dapat buku baru lagi
dari kak Ayu!”
“Ayah di mana, Ran?” Tanyaku.
“Belum pulang, Kak. Biasanya jam segini
sudah pulang, mungkin masih di jalan,”
jawabnya.
Aku berniat menunggu Pak Jono pulang, aku
sudah rindu sekali dengannya dan bakso bakarnya itu. Beberapa menit kemudian,
kerumunan orang mendatangi rumah. Kubiarkan saja sampai seseorang berteriak
dari luar minta dibukakan pintu. Perasaanku menjadi tidak enak, kupandangi Rani
yang juga ketakutan. Kubuka pintu perlahan dan alangkah terkejutnya aku melihat
apa yang mereka giring ke rumah ini. Tubuh Pak Jono yang sudah tak bernyawa.
Seketika Rani menjerit, akupun tak kuasa melihat kenyataan pahit ini. Aku
terduduk lemas menangis sekencang-kencangnya.
“Ayaahh ... ayah kenapa?” raung Rani
menggoncang-goncang tubuh ayahnya. Ah, terlalu berat memang beban yang akan
dipikul Rani nanti. Apalagi ia tak punya saudara. Hanya akulah yang ia punya.
Namun, aku yakin Rani
bukanlah anak biasa. Ia punya seribu alasan untuk tidak menyerah dengan keadaan
hidup.
Sepeninggal
orangtuanya, Rani tinggal bersamaku. Sebentar lagi ia akan menyelesaikan ujian
akhir SMA. Pada awalnya, Rani benar-benar hampir kehilangan kesadarannya. Cukup
sulit mengembalikan semangat hidupnya lagi. Beruntung ia tumbuh di keluarga ya
taat agama. Aku terus mengingatkannya bahwa orangtuanya adalah orang yanga
baik. Bahwa orangtuanya akan tenang bersama Allah dan diterima di surga
nantinya.
Sebulan
setelahnya, Rani kembali seperti sedia kala. Bahkan lebih luar biasa dari Rani
yang biasa. Bahkan ia mendapatkan nilai ujian terbaik di sekolahnya. Wah, aku
benar-benar bangga padanya. Setiap hari yang ia kerjakan hanya mengunyah buku
dan memuntahkannya kembali dalam bentuk aksara. Tulisannya benar-benar bagus! Aku
yang sudah lama hobi menulis saja minder melihat tulisannya.
Rani
mengajarkanku banyak hal, bahwa hidup memang tentang perjuangan dan bukan
sekedar bertahan. Rani terus mengingtkanku bahwa selama masih hidup, kita tak
akan pernah ditelan bumi dan selama belum ditelan bumi, kita masih harus terus
bergerak.
Aku
juga belajar bahwa siapapun dan apapun boleh saja meninggalkan kita. Tapi,
selagi kita terus membawa Allah dalam setiap langkah, mengingat bahwa hanya
Allah-lah tempat kita kembali, kita tak akan pernah ditelan bumi sampai Allah
yang menakdirkan. Lalu bersyukur dan berprasangka baiklah pada apapun.
Hari
inipun tiba,
“Selamat
ya, Rani!” ucapku
pada gadis cantik di depanku ini. “Kapan-kapan kakak bisa dapat diskonkan kalau
beli buku di sini? Heheh.” Melihat gadis hebat ini, air matapun tak dapat terbendung.
Sebuah pelajaran yang takkan pernah kulupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar