Selasa, 01 Desember 2015

RANI



Terik matahari siang itu kian menambah garis-garis kasar khas kerutan di wajah Pak Jono. Menambah tetesan peluh di sekujur tubuhnya yang memang telah basah sejak ia mulai mendorong dagangannya  dari rumahnya yang berjarak 4 km dari tempat ia berdagang sekarang. Tubuhnya yang tidak begitu kekar terlihat masih cukup kuat untuk melakukan aktivitas yang berat sekalipun. Walaupun sesekali ia nampak memutar-mutar pinggang dan memukul pundaknya yang mungkin kram. Hanya satu hal yang tak pernah terlihat letih kulihat darinya,
senyumnya. Ya, senyumnya tak pernah luput dari setiap geraknya.
            “Pak! Seperti biasa ya?” pintaku.
            “Tiga tusuk, dihangusin dikit kan neng?” jawabnya pasti.
            “Yoi, Pak! Tahu aja nih!” sahutku semangat. Setiap pulang sekolah, hamper tanpa absen aku selalu membeli bakso bakar milik Pak Jono. Aku sudah mencoba semua dagangan, tapi bakso bakar Pak Jono lah yang paling maknyus.
            “Iya tahu, kan tiap hari neng beli bakso bakar di sini. Oh ya, dapat salam dari anak bapak, si Rani. Katanya kapan Kak Ayu main ke rumah lagi?”
            “Hoho, insyaAllah dalam minggu ini Ayu mau main ke sana. Ada buku baru yang mau Ayu perlihatkan. Sampaikan pada Rani ya, Pak!”
            “Waah, Rani pasti senang ini, neng Ayu mau datang. Ini neng, pesanannya.”
            “Terimakasih, Pak!” sahutku dan berlalu meninggalkan Pak Jono.
            Teman-temanku banyak yang heran kenapa aku bisa kenal dengan keluarga Pak Jono. Rasa penasaranku dan kekagumanku padanya itulah yang membuatku bisa mengenal keluarganya. Suatu hari sepulang sekolah, aku melihat Pak Jono membawa Rani saat berdagang. Rani adalah anak yang cerdas, cantik dan cukup bijak. Aku sangat menyayangi Rani, ia sudah kuanggap seperti adikku sendiri karena akupun adalah anak tunggal. Beberapa hari kemudian aku diajak bermain ke rumahnya, tentu dengan berjalan kaki. Untungnya aku memang suka berjalan kaki, jadi tidak terlalu berat untukku berjalan ke rumahnya yang cukup jauh itu.
            Di rumah yang sebenarnya  tak layak untuk ditinggali itu, air mataku menetes. Rumah itu hanya seukuran kamarku. Rumah kayu beratap rumbia dengan satu jendela itu menampar batinku dengan keras. Membuatku menggigil membayangkan beratnya kehidupan yang harus dilewati gadis kecil ini. Pandanganku beralih ke sosok di atas tikar lusuh, kulihat seorang wanita tua yang sepertinya sedang sakit keras. Bisa kutebak, itu adalah ibu Rani. Ibu rani menderita strock dan komplikasi ginjal. Kembali, aku terharu saat melihat Rani yang langsung memeluk ibunya dan memberitakan tentang kedatanganku. Kusalami ibunya dan tiba-tiba ia menarik tubuhku dalam pelukannya. “Terimakasih ya, Nak?” begitu yang kudengar.
            Aku pernah bertanya kenapa ibu tidak dibawa ke rumah sakit untuk diobati, tapi Pak Jono  cuma tersenyum dan menjelaskan, “Neng Ayu bisa lihat sendiri keadaan bapak dan keluarga. Bapak bukan tidak mau, jika bisa bapak akan lebih bekerja keras lagi mencari uang. Tapi ibu yang terus menolak diobati, katanya sayang uangnya bisa ditabung buat sekolah Rani. Lah bapak bisa ga bisa apa-apa. Ibu sudah pasrah sekali dengan penyakitnya.” Mendengarnya aku hanya bisa terdiam.
            Beberapa hari kemudian, aku datangi lagi Pak Jono untuk menawarkan bantuan pengobatan untuk ibu. Tapi jawaban Pak Jono benar-benar membuatku merinding. Seperti malaikat maut semakin jelas menyosok dihadapanku.
            “Terima kasih Neng Ayu atas niat baiknya. Maaf bapak harus menolaknya sekarang. Bisakah Neng Ayu simpan dulu uangnya? Bapak takut umur bapak tidak panjang dan tidak mampu mengembalikannya. Jika memangpun begitu, maukah Neng Ayu menjaga Rani nanti saat bapak dan ibu sudah tidak ada? Maaf, bapak malah membebankan Rani kepada Neng Ayu. Hanya Ayu lah yang bapak percayai unuk menjaga Rani. Tapi, tetap bapak berharap dapat memilki umur panjang untuk menjaga Rani sampai ia dewasa.” Sampai disitu, air mataku mengalir dengan derasnya. Aku benar-benar tak kuasa menahan rasa haru, miris tapi juga bangga bisa mengenal Pak Jono.
            “Pak, InsyaAllah Ayu akan menjaga amanah bapak untuk menjaga Rani. Karena Rani sudah Ayu anggap seperti adik sendiri. Keluarga Ayupun menyayangi Rani dengan tulus. Semua orang akan dengan mudah menyayangi anak baik dan cerdas seperti Rani.”
            “Terima kasih ya, Neng Ayu. Maaf  bapak malah merepotkan Neng. Semoga segala kebaikan Neng Ayu menjadi ladang pahala di akhirat kelak. Amin.”
            Begitulah akhir perbincanganku dengan Pak Jono sore itu. Semenjak hari itu, aku jadi semakin bersemangat menjalani hidup. Bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untuk orang-orang di sekitarku. Toh , kita hidup memang untuk berbagi. Tuhan memberikan kelebihan untuk sebahagian manusia agar bisa berbagi ke sebahagian yang lain. Apapun bentuknya asalkan bermanfaat semuanya akan dibalas dengan setimpal bahkan lebih dari yang kita bisa bayangkan.
            Aku semakin sering main ke rumah Rani dan hal yang wajib aku bawa adalah buku, karena Rani suka sekali membaca. Pengetahuan umumnya bahkan lebih baik dariku. Kadang aku jadi malu pada diriku sendiri. Bahkan aku pernah ikut membantu Pak Jono membuat bakso bakar dagangannya. Walaupun rumahnya tak layak, tapi Pak Jono sangat menjaga kebersihan dagangannya. Ranilah yang paling bersemangat membantu ayahnya sepulang sekolah. Aku juga membantu Rani sesekali mengurus ibu Rani, bu Jumi.
            Bu Jumi juga tidak kalah tangguh jika dibandingkan dengan suaminya, Pak Jono. Beliau sering sekali memberiku petuah-petuah kehidupan. Pernah suatu hari ketika aku sedang sibuk bermain denga Rani, dia datang merangkul pundakku. Padahal tubuhnya sangat lemah saat itu, tapi tetap beliau dengan sigap menopang badannya yang kurus itu.
            “Neng Ayu, nanti saat sudah waktunya, kamu akan disulitkan dengan banyaknya pilihan yang datang padamu. Entah itu sekolah, pekerjaan ataupun jodoh nantinya. Nasehat sederhana ibu ini semoga dapat membantu kamu nanti. Jika ada pilihan menghampirimu, yang paling pertama adalah kamu harus berani memilih. Pilihan terbaik adalah pilihanmu sendiri, bukan pilihan orang lain.”
Sampai disitu aku tertegun mendengar nasehat Bu Jumi. Mungkin terdengar biasa saja. Tapi karena datang dari wanita biasa ini yang bahkan untuk mengeluh saja sulit, terasa sekali aura kebaikan itu. “Dan pilihan kamu juga harus sejalan dengan pilihan Allah swt.” Bu Jumi meneruskan, “karena tidak ada yang bisa kita perbuat selain dengan izinNya kan? Ibu ini bukan sarjana, tamat sekolah menengah saja tidak karena tidak punya uang. Itu bukan pilihan ibu, ibu menyerah pada pilihan orangtua ibu. Padahal bisa saja ibu lanjutkan sekolah ibu dengan bekerja kecil-kecilan. Tapi ibu mengalah, itu yang ibu sesalkan sampai sekarang.”
Bu Jumi meneteskan air mata di sela-sela kisahnya. Dia tersenyum pilu, tapi kesedihan itu tampak jelas di matanya. Dielus-elusnya kepala Rani yang masih asik dengan mainannya. “Makanya, ibu sangat ingin Rani terus melanjutkan sekolahnya. Dia anak yang pintarkan, Yu? Sayang kalau cuma kebagian cuci-cuci di rumah orang.”
Tanpa sadar meneteslah bening-bening bukti keharuan di pipiku. Bagi orangtua yang punya asuransi di mana-mana mungkin tidak ada kekhawatiran di hatinya seperti yang dialami Bu Jumi. Bahkan juga orangtuaku. Syukur, oragtuaku bukan tipe orangtua yang gila kerjaan. Mereka selalu menyediakan waktu untuk anak semata wayangnya ini.
“Rani kalau sudah besar, cita-citanya jadi apa?” tanyaku disela-sela membantu Pak Jono.
            “Rani mau seperti Kak Ayu, cantik, baik, terus pintar lagi.” jawabnya polos.
            Aku terdiam sesaat. “Adikku, Rani, kamu itu harus lebih baik, lebih cantik dan lebih pintar dari kakak, kamu harus belajar yang rajin, biar bisa bantu ayah dan ibumu nanti. Terus bisa beli buku yang banyak sekali.” kataku sembari mengelus pipinya. Rani pun hanya mengangguk dan tersenyum.
*-*
            Hari ini aku datang lagi ke rumah Rani, aku datang sendiri karena aku tak melihat Pak Jono berdagang di sekolah. Sesampainya di rumah kecil itu, aku melihat kerumunan orang di rumah. Aku melihat Rani yang menangis digendong Pak Jono. Bendera putih yang terpasang di depan rumah itu membuat bulu romaku bergidik. Aku berlari ke dalam rumah dan mendapati ibu Rani telah tiada. Ranipun berlari ke arahku dan memelukku sambil meraung-raung. Akupun tak dapat menahan kesedihanku.
            “Kak, ibu kak, ibu pergi, kak!” raungnya kepadaku.
            Aku tak sanggup melihatnya. Kupeluk ia erat sekali, “Allah sayang sekali dengan ibu Rani, Allah sudah rindu dengan ibu, tapi Rani tenang saja, ibu akan lebih bahagia bersama Allah di sana.”
            “Benarkah kak? Kalau Rani rindu dengan ibu bagaimana?”
            “Rani berdoa yang banyak untuk ibu, ya. Dengan itu rindu Rani akan sampai pada ibu.”
            “Kakak, Rani sayang ibu, Rani akan berdoa untuk Ibu,katanya padaku masih dalam senggukannya menahan tangis. Kulihat Pak Jono lebih tegar, mungkin ini yang terbaik untuk istri yang dicintainya itu.
*-*
            “Kak Ayu! Rani dapat juara lomba menulis cerpen! Ini pialanya!” Teriak ayu, saat aku tiba di rumahnya. Sekarang Rani sudah kelas 1 SMA, dan aku sedang melanjutkan kuliahku jurusan Ilmu Komunikasi.
            “Benarkah? Waah hebat sekali Rani? Ini hadiah buku dari kakak karena Rani sudah juara.”
            “Horeee! Rani dapat buku baru lagi dari kak Ayu!”
            “Ayah di mana, Ran?” Tanyaku.
            “Belum pulang, Kak. Biasanya jam segini sudah pulang, mungkin masih di jalan,jawabnya.
            Aku berniat menunggu Pak Jono pulang, aku sudah rindu sekali dengannya dan bakso bakarnya itu. Beberapa menit kemudian, kerumunan orang mendatangi rumah. Kubiarkan saja sampai seseorang berteriak dari luar minta dibukakan pintu. Perasaanku menjadi tidak enak, kupandangi Rani yang juga ketakutan. Kubuka pintu perlahan dan alangkah terkejutnya aku melihat apa yang mereka giring ke rumah ini. Tubuh Pak Jono yang sudah tak bernyawa. Seketika Rani menjerit, akupun tak kuasa melihat kenyataan pahit ini. Aku terduduk lemas menangis sekencang-kencangnya.
            “Ayaahh ... ayah kenapa?” raung Rani menggoncang-goncang tubuh ayahnya. Ah, terlalu berat memang beban yang akan dipikul Rani nanti. Apalagi ia tak punya saudara. Hanya akulah yang ia punya. Namun, aku  yakin Rani bukanlah anak biasa. Ia punya seribu alasan untuk tidak menyerah dengan keadaan hidup.
            Sepeninggal orangtuanya, Rani tinggal bersamaku. Sebentar lagi ia akan menyelesaikan ujian akhir SMA. Pada awalnya, Rani benar-benar hampir kehilangan kesadarannya. Cukup sulit mengembalikan semangat hidupnya lagi. Beruntung ia tumbuh di keluarga ya taat agama. Aku terus mengingatkannya bahwa orangtuanya adalah orang yanga baik. Bahwa orangtuanya akan tenang bersama Allah dan diterima di surga nantinya.
            Sebulan setelahnya, Rani kembali seperti sedia kala. Bahkan lebih luar biasa dari Rani yang biasa. Bahkan ia mendapatkan nilai ujian terbaik di sekolahnya. Wah, aku benar-benar bangga padanya. Setiap hari yang ia kerjakan hanya mengunyah buku dan memuntahkannya kembali dalam bentuk aksara. Tulisannya benar-benar bagus! Aku yang sudah lama hobi menulis saja minder melihat tulisannya.
            Rani mengajarkanku banyak hal, bahwa hidup memang tentang perjuangan dan bukan sekedar bertahan. Rani terus mengingtkanku bahwa selama masih hidup, kita tak akan pernah ditelan bumi dan selama belum ditelan bumi, kita masih harus terus bergerak.
            Aku juga belajar bahwa siapapun dan apapun boleh saja meninggalkan kita. Tapi, selagi kita terus membawa Allah dalam setiap langkah, mengingat bahwa hanya Allah-lah tempat kita kembali, kita tak akan pernah ditelan bumi sampai Allah yang menakdirkan. Lalu bersyukur dan berprasangka baiklah pada apapun.
            Hari inipun tiba,
“Selamat ya, Rani!” ucapku pada gadis cantik di depanku ini. “Kapan-kapan kakak bisa dapat diskonkan kalau beli buku di sini? Heheh.” Melihat gadis hebat ini, air matapun tak dapat terbendung. Sebuah pelajaran yang takkan pernah kulupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar