“Ta,
temenin aku ke bandara yuk?” celetukku pada Nita yang tengah asik dengan smartphonenya
“What?
Bandara? Ngapain?” Nitapun menghentikan aktivitasnya yang begitu mainstream
itu.
“Iya bandara. Aku mau lihat langit
yang ada di bandara. Mungkin masih biru.” Sontak Nita tergelak dengan alasanku
barusan. Dia menutup mulutnya dengan tangan kanan dan menepuk-nepuk pundakku
dengan tangan kirinya.
“Aduh, Sa! Kamu udah kena gejala
rabun atau apa sih? Ga ada lagi langit biru.
Ga ada lagi awan putih. Sekarang yang tertinggal cuma samar, samar kulihat langit, samar kulihat awan, samar kulihat keputusasaan.” Nita menatapku sesaat dan kembali mengotak-atik gadgetnya.
Ga ada lagi awan putih. Sekarang yang tertinggal cuma samar, samar kulihat langit, samar kulihat awan, samar kulihat keputusasaan.” Nita menatapku sesaat dan kembali mengotak-atik gadgetnya.
Benar kata Nita, sekarang semuanya
jadi samar. Samar kulihat mata orang-orang semakin sipit karena sering
memicingkan mata. Takut-takut kalau asap masih menyimpan bara dan membakar
kornea mata. Samar kulihat orang-orang semakin ragu melangkah. Takut-takut asap
mengikat kaki mereka di luar, membekap mulut mereka hingga terkapar. Semuanya semakin
samar dan nanar dipandang.
Katanya
ini sudah tahun ke-18 bencana asap ini mengepung tanah kelahiranku. Umurku
sekarang sudah meginjak tahun ke-24, berarti aku sudah merasakan semua era asap
itu. Aku tidak bisa bilang kalau aku baik-baik saja karena saat aku masih duduk
di sekolah menengah pertama, aku dan kedua adik lelakiku harus mengkonsumsi
obat selama enam bulan tanpa boleh berhenti. Seingatku, itu berkaitan dengan
kesehatan paru-paru.
“Jadi gimana? Mau temenin aku ke
bandara? Aku ngidam langit.” Kembali aku merengek pada Nita. Tapi dia diam
saja. “Sekalian kita cek papan ISPU di Jalan Sudirman sana yang dekat Kantor
Gubernur itu. Gimana?” Nita menatapku sambil memiring-miringkan bibirnya.
“Annisa Fitri, sahabatku sayang,
dengar ya? Langit biru hanya akan datang setelah hujan turun selama 3 hari 3
malam. Kita tunggu saja hujan turun. Dan soal papan ISPU itu, kamu tinggal
nyalain tv atau paling gampang surfing
di internet. Makanya kalau punya smartphone itu ya mesti ikutan smart dong!”
Nita menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian membaringkan tubuhnya di kasur.
Hujan. Beberapa hari yang lalu hujan
turun, ya walaupun tidak deras tapi cukup untuk meyakinkan diri bahwa “Nothing is Impossible, Everything is
Possible to those Believe”. Akan selalu ada hujan-hujan selanjutnya. Entah
hari ini, besok atau lusa, hujan akan turun saat waktunya turun. Karena hujan
adalah rahmat, maka tidak ada salahnya bersabar menunggu rahmat.
“Sa, mungkin pertanyaan aku ini udah
mainstream banget ya? Tapi, kenapa ya semudah itu hutan kita dibakar? Ini
pekerjaan orang yang udah ga punya akal sehat. Benar kan? Nita masih menatap
langit kamarnya. Sahabatku ini adalah
pecinta langit. Jadi bisa kubayangkan perasaannya sekarang. Mirip-mirip orang
yang baru ditinggal kekasih hati.
Pertanyaan yang Nita ajukan padaku
mungkin sudah pernah didengar semua orang. Jawabannya tentu bervariasi, mulai
dari umpatan, kekecewaan, pembenaran sekaligus serentetan fakta-fakta dan
opini-opini lahir dari mulut-mulut mereka yang teraniaya, mungkin juga keluar
dari mulut-mulut si pembakar yang terus bersembunyi di balik tikus-tikus
peliharaannya.
Tiap tahun, pemerintah berkoar
seakan-akan mereka telah menemukan Juragan Utama penyebab bencana ini, padahal
yang mereka temukan hanya tikus-tikus kecil. Tikus-tikus ini kalaupun mati,
hilang, dimakan anjing, sangat mudah untuk menggantikannya dengan yang baru.
Terlalu banyak tikus kelaparan di tanah ini.
Sudah beberapa hari ini kami tidak
melihat matahari. Bayangkan saja, matahari yang merupakan sumber cahaya, sumber
panas dan sumber segala kebutuhan makhluk hidup tak mampu menembus asap super
ini. Ini teorinya sederhana sekali, sinar panas matahari tidak sampai ke kota
ini, tentu akan berkurang penguapan air ke langit. Lalu bagaimana anomali air
itu akan berjalan? Bagaimana hujan bisa turun? Hujan-hujan gerimis itu hanya
akan menambah asap.Ini teori lagi, api jika tidak benar-benar dimatikan ya
hanya akan menghasilkan asap lebih banyak lagi.
Bagi mereka yang hidupnya hanya
keluar-masuk ruangan ber-AC ya hanya akan merubah 10-15 persen kehidupan
mereka. Tapi bagaimana mereka yang hidupnya memang mondar-mandir jalan raya,
mereka yang bahkan tak punya waktu untuk sebentar menarik oksigen ke paru-paru
mereka? Kami memang tetap bernafas di sini, tapi apa yang kami hirup? Apa yang
kami pelihara di tubuh kami? Kotor. Kami harus menghirup hasil pekerjaan kotor
orang-orang tak bertanggungjawab. Kami harus menelan dalam-dalam kotoran itu
untuk bertahan hidup. Sungguh sangat tak layak.
“Entahlah, Ta. Mungkin benar apa
yang kamu bilang barusan. Tapi ya kita bisa apa? Mungkin benar juga apa yang
dikatakan mantan gubernur kita dulu, “Serahkan pada Allah saja” jawabku pasrah,
“Yah, sebenarnya kita ga bisa diam
ajakan, Sa? Kita mau ikut ngelakuin sesuatu. Tapi, kita ga tau aja mesti
ngelakuin apa. Udah syukur banget bisa bantu temen-temen komunitas bagiin
masker kemarin. Tapi sayang, banyak masker-masker yang terbuang di jalanan. Ga
tau sih itu sengaja dibuang atau emang ga mau dipakai lagi.”
“Ah, iya. Itu juga yang bikin aku
agak kesel kemaren. Ya kalau mereka punya banyak simpanan masker di rumah ya
ditolak aja. Lah ini diterima abis itu dijadiin sampah aja. Itu namanya bantuin
proses global warming. Bener ga?” ungkapku dengan sedikit bercampur emosi.
“Haha iya. Aku juga heran, udara
udah separah ini masih ada aja yang malas pakai masker.” Nita menambahkan.
“Ah, sudahlah. Jadi kapan kita ke bandara,
Ta?” tanyaku lagi menggodanya.
“Nisaaaaaa!”
Kamipun mengakhiri hari itu dengan
canda-tawa. Entah apa yang akan terjadi esok. Apakah hujan akan turun atau asap
yang naik?
***
Seminggu berlalu setelah
percakapanku dengan Nita. Hari ini langit masih sama, sedikit sekali sinar
matahari yang berhasil menyentuh tulang-tulangku. Ah, malas sekali rasanya
harus melangkahkan kaki keluar. Rasanya ada tembok besar yang siap
menghadangku. Ah tidak, ini lebih seperti aku sedang ditunggu sekelompok mafia
di depan pintu. Mereka sedang siap-siap menangkapku, mengikutiku secara
terang-terangan. Pelan-pelan menggoreskan pisau dikulitku. Semakin lama semakin
dalam dan menyentuh denyut nadiku. Membayangkannya saja hampir membuatku
gemetaran.
Tapi apalah daya, kita semua punya
tanggungjawab, yang paling utama tentu terhadap diri sendiri. Ya walaupun
tanggungjawab paling utama adalah menjaga kesehatan. Bukankah ini seperti makan
buah simalakama? Keluar makan asap, tidak keluar makan angin. Seperti hari ini,
akupun tetap harus menjalankan kewajibanku untuk mengajar di salah satu tempat
kursus di daerahku. Begitupun orangtuaku, mereka juga tetap bekerja seperti
biasanya. Tidak ada dispensasi dari perusahaan tempat kami bekerja, semua
berjalan normal.
Aku lebih sering berfikir kalau ini
adalah azab dari Tuhan. Azab karena sudah merusak alam milikNya, bersifat rakus
dan tamak, bukankah itu hal-hal yang dibenci Tuhan? Lalu bagaimana dengan
mereka yang tidak tahu apa-apa? Apa ini juga azab? Mungkin. Karena tidak mampu
menjaga dan melindungi alam, mungkin juga karena kurangnya rasa syukur atas
nikmat udara bersih selama ini. Mungkin aku masuk ke semua kelompok tersebut,
tidak mau menjaga dan kurang bersyukur.
“Ya
ampun, biar udah pakai helm gini, mata tetap aja diserang asap,” begitu keluhku
saat bertemu tutor-turor di kantor.
“Kamu mending bawa sepeda motor, lah
aku mesti jalan kaki. Syukur ini kantor full AC ya.” Rani menghirup nafas
sepuas-puasnya, seakan-akan cuma ini satu-satunya kesempatannya untu bernafas.
Kalau unta punya punduk untuk
menyimpan cadangan air, rasanya aku juga ingin punya satu untuk menyimpan
cadangan udara.
“Kira-kira hujan kapan turun ya,
Ran? Air di rumah mulai kering nih.” Aku megeluh begitu saja di depan Rani.
“Lah kok nanya aku, sih? Kita
sama-sama berdoa aja ya, semoga hujan segera turun. Kasian banget kita udah
kaya ngezombie di sini,” jawab Rani.
“Bener Miss Nisa, apa lagi aku lagi
hamil muda gini, sedih terus was-was aja bawaannya.” Lisa salah satu FO pun
ikutan curhat. Lisa sekarang lagi hamil 3 bulan, bahaya kalau si bayi kena
infeksi pernapasan nantinya.
“Iya, Miss Lisa jaga kesehatan ya,
ga usah keluar rumah dulu deh kecuali
masuk kerja. Kalau mau perlu apa-apa, minta tolong suami aja,” godaku pada
pengantin muda ini.
Kami hanya tergelak setelahnya.
Entahlah, kabut asap ini membuat semangat hidup berkurang. Badan terasa lemas
setiap harinya. Kabua asap ini sudah berjalan tiga bulan, terlama dan terparah.
Bayangkan saja sampai akhir tahun kabut ini tidak hilang-hilang? Harapan hidup menurun hingga 99%.
Hinga malam tiba, udara semakin
tidak karuan. Tapi manusia tetap saja lalu-lalang di jalan. Mungkin paru-paru
mereka kuat ya?
“Nisa, itu di luar hujan ya?”
tiba-tiba mama mengejutkanku.
“Masa sih ma? Itu bukannya suara
kipas angina?” sahutku masih belum percaya.
“Iya bener itu hujan, loh.
Alhamdulillah.”
Aku naik ke atap ruko tempatku
tinggal. Allahuakbar! Hujan bener turun. Air, air sampai ke tanah. Air berhasil
menembus asap malam ini. Orang-orang keluar dari rumah mereka, yang sedang di
jalan bersorak gembira. Sedangkan aku, hanya sanggup menengadahkan kepala.
Menahan haru dan syukur yang tak terkira. Seketika berkhayal besok langit biru
akan datang. Semoga.
keren.. gw suka
BalasHapusWaaah ada eloooo
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus