Selasa, 01 Desember 2015

Mencari Langit



“Ta, temenin aku ke bandara yuk?” celetukku pada Nita yang tengah asik dengan smartphonenya
            What? Bandara? Ngapain?” Nitapun menghentikan aktivitasnya yang begitu mainstream itu.
            “Iya bandara. Aku mau lihat langit yang ada di bandara. Mungkin masih biru.” Sontak Nita tergelak dengan alasanku barusan. Dia menutup mulutnya dengan tangan kanan dan menepuk-nepuk pundakku dengan tangan kirinya.
            “Aduh, Sa! Kamu udah kena gejala rabun atau apa sih? Ga ada lagi langit biru.
Ga ada lagi awan putih. Sekarang yang tertinggal cuma samar, samar kulihat langit, samar kulihat awan, samar kulihat keputusasaan.” Nita menatapku sesaat dan kembali mengotak-atik gadgetnya.
            Benar kata Nita, sekarang semuanya jadi samar. Samar kulihat mata orang-orang semakin sipit karena sering memicingkan mata. Takut-takut kalau asap masih menyimpan bara dan membakar kornea mata. Samar kulihat orang-orang semakin ragu melangkah. Takut-takut asap mengikat kaki mereka di luar, membekap mulut mereka hingga terkapar. Semuanya semakin samar dan nanar dipandang.
            Katanya ini sudah tahun ke-18 bencana asap ini mengepung tanah kelahiranku. Umurku sekarang sudah meginjak tahun ke-24, berarti aku sudah merasakan semua era asap itu. Aku tidak bisa bilang kalau aku baik-baik saja karena saat aku masih duduk di sekolah menengah pertama, aku dan kedua adik lelakiku harus mengkonsumsi obat selama enam bulan tanpa boleh berhenti. Seingatku, itu berkaitan dengan kesehatan paru-paru.
            “Jadi gimana? Mau temenin aku ke bandara? Aku ngidam langit.” Kembali aku merengek pada Nita. Tapi dia diam saja. “Sekalian kita cek papan ISPU di Jalan Sudirman sana yang dekat Kantor Gubernur itu. Gimana?” Nita menatapku sambil memiring-miringkan bibirnya.
            “Annisa Fitri, sahabatku sayang, dengar ya? Langit biru hanya akan datang setelah hujan turun selama 3 hari 3 malam. Kita tunggu saja hujan turun. Dan soal papan ISPU itu, kamu tinggal nyalain tv atau paling gampang surfing di internet. Makanya kalau punya smartphone itu ya mesti ikutan smart dong!” Nita menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian membaringkan tubuhnya di kasur.
            Hujan. Beberapa hari yang lalu hujan turun, ya walaupun tidak deras tapi cukup untuk meyakinkan diri bahwa “Nothing is Impossible, Everything is Possible to those Believe”. Akan selalu ada hujan-hujan selanjutnya. Entah hari ini, besok atau lusa, hujan akan turun saat waktunya turun. Karena hujan adalah rahmat, maka tidak ada salahnya bersabar menunggu rahmat.
            “Sa, mungkin pertanyaan aku ini udah mainstream banget ya? Tapi, kenapa ya semudah itu hutan kita dibakar? Ini pekerjaan orang yang udah ga punya akal sehat. Benar kan? Nita masih menatap langit kamarnya.    Sahabatku ini adalah pecinta langit. Jadi bisa kubayangkan perasaannya sekarang. Mirip-mirip orang yang baru ditinggal kekasih hati.
            Pertanyaan yang Nita ajukan padaku mungkin sudah pernah didengar semua orang. Jawabannya tentu bervariasi, mulai dari umpatan, kekecewaan, pembenaran sekaligus serentetan fakta-fakta dan opini-opini lahir dari mulut-mulut mereka yang teraniaya, mungkin juga keluar dari mulut-mulut si pembakar yang terus bersembunyi di balik tikus-tikus peliharaannya.
            Tiap tahun, pemerintah berkoar seakan-akan mereka telah menemukan Juragan Utama penyebab bencana ini, padahal yang mereka temukan hanya tikus-tikus kecil. Tikus-tikus ini kalaupun mati, hilang, dimakan anjing, sangat mudah untuk menggantikannya dengan yang baru. Terlalu banyak tikus kelaparan di tanah ini.
            Sudah beberapa hari ini kami tidak melihat matahari. Bayangkan saja, matahari yang merupakan sumber cahaya, sumber panas dan sumber segala kebutuhan makhluk hidup tak mampu menembus asap super ini. Ini teorinya sederhana sekali, sinar panas matahari tidak sampai ke kota ini, tentu akan berkurang penguapan air ke langit. Lalu bagaimana anomali air itu akan berjalan? Bagaimana hujan bisa turun? Hujan-hujan gerimis itu hanya akan menambah asap.Ini teori lagi, api jika tidak benar-benar dimatikan ya hanya akan menghasilkan asap lebih banyak lagi.
            Bagi mereka yang hidupnya hanya keluar-masuk ruangan ber-AC ya hanya akan merubah 10-15 persen kehidupan mereka. Tapi bagaimana mereka yang hidupnya memang mondar-mandir jalan raya, mereka yang bahkan tak punya waktu untuk sebentar menarik oksigen ke paru-paru mereka? Kami memang tetap bernafas di sini, tapi apa yang kami hirup? Apa yang kami pelihara di tubuh kami? Kotor. Kami harus menghirup hasil pekerjaan kotor orang-orang tak bertanggungjawab. Kami harus menelan dalam-dalam kotoran itu untuk bertahan hidup. Sungguh sangat tak layak.
            “Entahlah, Ta. Mungkin benar apa yang kamu bilang barusan. Tapi ya kita bisa apa? Mungkin benar juga apa yang dikatakan mantan gubernur kita dulu, “Serahkan pada Allah saja” jawabku pasrah,
            “Yah, sebenarnya kita ga bisa diam ajakan, Sa? Kita mau ikut ngelakuin sesuatu. Tapi, kita ga tau aja mesti ngelakuin apa. Udah syukur banget bisa bantu temen-temen komunitas bagiin masker kemarin. Tapi sayang, banyak masker-masker yang terbuang di jalanan. Ga tau sih itu sengaja dibuang atau emang ga mau dipakai lagi.”
            “Ah, iya. Itu juga yang bikin aku agak kesel kemaren. Ya kalau mereka punya banyak simpanan masker di rumah ya ditolak aja. Lah ini diterima abis itu dijadiin sampah aja. Itu namanya bantuin proses global warming. Bener ga?” ungkapku dengan sedikit bercampur emosi.
            “Haha iya. Aku juga heran, udara udah separah ini masih ada aja yang malas pakai masker.” Nita menambahkan.
             “Ah, sudahlah. Jadi kapan kita ke bandara, Ta?” tanyaku lagi menggodanya.
            “Nisaaaaaa!”
            Kamipun mengakhiri hari itu dengan canda-tawa. Entah apa yang akan terjadi esok. Apakah hujan akan turun atau asap yang naik?
***
            Seminggu berlalu setelah percakapanku dengan Nita. Hari ini langit masih sama, sedikit sekali sinar matahari yang berhasil menyentuh tulang-tulangku. Ah, malas sekali rasanya harus melangkahkan kaki keluar. Rasanya ada tembok besar yang siap menghadangku. Ah tidak, ini lebih seperti aku sedang ditunggu sekelompok mafia di depan pintu. Mereka sedang siap-siap menangkapku, mengikutiku secara terang-terangan. Pelan-pelan menggoreskan pisau dikulitku. Semakin lama semakin dalam dan menyentuh denyut nadiku. Membayangkannya saja hampir membuatku gemetaran.
            Tapi apalah daya, kita semua punya tanggungjawab, yang paling utama tentu terhadap diri sendiri. Ya walaupun tanggungjawab paling utama adalah menjaga kesehatan. Bukankah ini seperti makan buah simalakama? Keluar makan asap, tidak keluar makan angin. Seperti hari ini, akupun tetap harus menjalankan kewajibanku untuk mengajar di salah satu tempat kursus di daerahku. Begitupun orangtuaku, mereka juga tetap bekerja seperti biasanya. Tidak ada dispensasi dari perusahaan tempat kami bekerja, semua berjalan normal.
            Aku lebih sering berfikir kalau ini adalah azab dari Tuhan. Azab karena sudah merusak alam milikNya, bersifat rakus dan tamak, bukankah itu hal-hal yang dibenci Tuhan? Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak tahu apa-apa? Apa ini juga azab? Mungkin. Karena tidak mampu menjaga dan melindungi alam, mungkin juga karena kurangnya rasa syukur atas nikmat udara bersih selama ini. Mungkin aku masuk ke semua kelompok tersebut, tidak mau menjaga dan kurang bersyukur.
            “Ya ampun, biar udah pakai helm gini, mata tetap aja diserang asap,” begitu keluhku saat bertemu tutor-turor di kantor.
            “Kamu mending bawa sepeda motor, lah aku mesti jalan kaki. Syukur ini kantor full AC ya.” Rani menghirup nafas sepuas-puasnya, seakan-akan cuma ini satu-satunya kesempatannya untu bernafas.
            Kalau unta punya punduk untuk menyimpan cadangan air, rasanya aku juga ingin punya satu untuk menyimpan cadangan udara.
            “Kira-kira hujan kapan turun ya, Ran? Air di rumah mulai kering nih.” Aku megeluh begitu saja di depan Rani.
            “Lah kok nanya aku, sih? Kita sama-sama berdoa aja ya, semoga hujan segera turun. Kasian banget kita udah kaya ngezombie di sini,” jawab Rani.
            “Bener Miss Nisa, apa lagi aku lagi hamil muda gini, sedih terus was-was aja bawaannya.” Lisa salah satu FO pun ikutan curhat. Lisa sekarang lagi hamil 3 bulan, bahaya kalau si bayi kena infeksi pernapasan nantinya.
            “Iya, Miss Lisa jaga kesehatan ya, ga usah keluar rumah dulu deh  kecuali masuk kerja. Kalau mau perlu apa-apa, minta tolong suami aja,” godaku pada pengantin muda ini.
            Kami hanya tergelak setelahnya. Entahlah, kabut asap ini membuat semangat hidup berkurang. Badan terasa lemas setiap harinya. Kabua asap ini sudah berjalan tiga bulan, terlama dan terparah. Bayangkan saja sampai akhir tahun kabut ini tidak hilang-hilang?  Harapan hidup menurun hingga 99%.
            Hinga malam tiba, udara semakin tidak karuan. Tapi manusia tetap saja lalu-lalang di jalan. Mungkin paru-paru mereka kuat ya?
            “Nisa, itu di luar hujan ya?” tiba-tiba mama mengejutkanku.
            “Masa sih ma? Itu bukannya suara kipas angina?” sahutku masih belum percaya.
            “Iya bener itu hujan, loh. Alhamdulillah.”
            Aku naik ke atap ruko tempatku tinggal. Allahuakbar! Hujan bener turun. Air, air sampai ke tanah. Air berhasil menembus asap malam ini. Orang-orang keluar dari rumah mereka, yang sedang di jalan bersorak gembira. Sedangkan aku, hanya sanggup menengadahkan kepala. Menahan haru dan syukur yang tak terkira. Seketika berkhayal besok langit biru akan datang. Semoga.

3 komentar: