Guru
merupakan fasilitas terpenting dalam lingkup pendidikan. Ketiadaan guru akan
menjadi tembok penghalang bagi ilmu pengetahuan untuk sampai ke manusia. Jika
sebuah majelis pendidikan kekurangan guru maka proses transfer ilmu yang
diperlukan masyarakat luas itu akan berjalan tidak sempurna. Ini merupakan dampak
dari ketiadaan guru. Apa penyebabnya? “Imcomplete
Distribution”. Data Pemetaan guru dari BPSMP-PMP Kemendikbud (2011)
melampirkan bahwa penyebaran guru masih sangat sentralistik. Di perkotaan,
jumlah guru berkelebihan hingga 52 persen, di pedesaan berkelebihan hingga 68 persen, sedang di daerah 3T terjadi kekurangan guru hingga 66 persen. Mengutip kalimat Nelson Mandela, “Education is the most powerfull weapon which you can use to change the world”, maka negara ini harus segera berbenah, mengganti formasi atau merevolusi metode pendistribusian guru ke semua daerah, khususnya daerah 3T.
jumlah guru berkelebihan hingga 52 persen, di pedesaan berkelebihan hingga 68 persen, sedang di daerah 3T terjadi kekurangan guru hingga 66 persen. Mengutip kalimat Nelson Mandela, “Education is the most powerfull weapon which you can use to change the world”, maka negara ini harus segera berbenah, mengganti formasi atau merevolusi metode pendistribusian guru ke semua daerah, khususnya daerah 3T.
Beberapa tahun belakangan ini,
gerakan peduli pendidikan mulai bangkit kembali. Gerakan yang membooming jelas Gerakan Indonesia Mengajar
yang didirikan Mantan Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan. Gerakan
ini berdiri pada tahun 2009 dan sudah menginjak angkatan XI. Jumlah pendaftar
pada angkatan XI mencapai 10.00 Sarjana.
Tentu
ini bukan hal yang biasa, bagaimana orang-orang bisa meninggalkan pekerjaan
mereka yang mungkin sudah menjanjikan untuk masa depan mau ikut turun tangan
demi pendidikan. Jika dibandingkan dengan Sarjana yang lulus tiap tahunnya mungkin
tidak seberapa, tapi cukup untuk menggerakkan. Mengajar di pelosok negeri tentu
bukan hal yang mudah. Seorang pengajar harus tahu cara bertahan dalam
keterbatasan. Menumbuhkan impian, menjadi inspirasi dan jembatan bagi anak-anak
yang mungkin masih tabu berbicara cita-cita. Indonesia mengajar mengajak kita
untuk sama-sama bergerak, untuk sama-sama bertanggugjawab demi menunaikan
cita-cita bangsa.
Gerakan lainnya dimonitori langsung
oleh dinas pendidikan yaitu SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Terdepan
dan Tertinggal). Program ini dimulai pada tahun 2011 dan sudah menginjak
angkatan V. Program ini tentu memiliki keuntungan lebih dibandingkan Indonesia
Mengajar. Selain langsung digerakkan oleh pemerintah juga punya bonus, seperti
kemudahan untuk menjadi PNS setelah program selesai. Selain itu aksesnya lebih
mudah karena bekerjasama langsung dengan universitas-universitas yang berada di
bawah naungan Dikti. Tidak perlu jauh-jauh keluar kota untuk ikut tes dan
sebagainya.
Daerah-daerah yang dipilih tentu
mereka yang paling membutuhkan. Indonesia Mengajar memilih 17 Kabupaten dri 16
provinsi sebagai lokasi penempatan pengajar muda. Beberapa diantaranya dari
Kab. Aceh Utara (Nanggroe Aceh Darussalam), Kab. Bengkalis (Riau), Pulau
Bawean, Kab. Gresik (Jawa Timur), Kab. Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Kab.
Majene (Sulawesi Barat), Kab. Bima (NTT), hingga Kab. Fakfak (Papua Barat).
Sementara SM3T cakupannya juga cukup luas. Setiap Universitas punya daerah
penempatan masing-masing. Beberapa di antaranya Kab. Waropen dan Kab. Biak (Papua)
Teluk Bintuni (Papua Barat), Kab. Aceh Singkil (Aceh), Kab. Sanggau (Kalimantan
Barat), Kab. Ende (NTT), Kab. Sitaro (Manado), Kepulauan Aru (Maluku) dan
daerah lainnya.
Dua gerakan pendidikan saja sudah
berhasil menembus banyak daerah-daerah 3T, bisa dibayangkan jika semakin banyak
gerakan yang melakukan hal yang sama. Karena dua gerakan saja belum mampu menampung spirit sarjana
muda kita. Tentu masih banyak lagi daerah 3T yang belum terjamah oleh semangat
dan cita-cita.
Spirit
sarjana muda seperti ini tentu sayang jika diabaikan. Bayangkan jika seluruh
sarjana muda diawal kelulusannya dihabiskan untuk menginspirasi anak-anak di
daerah 3T tersebut. Kita tahu di beberapa negara ada wajib militer, bisa saja
di Indonesia kita adakan wajib mengajar. Di Indonesia Mengajar, mereka yang
mendaftar bukan hanya dari lulusan Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
(FKIP), tapi juga dari cabang ilmu lainya, seperti Ilmu Komunikasi, Ekonomi,
Kesehatan dan sebagainya. Fakta ini menunjukkan bahwa untuk menjadi “Teacher as Inspirator” tidak harus
berasal dari lulusan guru. Berbeda dengan SM3T, lulusan FKIP menjadi syarat
wajib untuk mengikuti program ini.
Lalu, apakah gerakan semacam ini
efektif? Tentu! In temporary, tentu
tidak ada yang sia-sia dari sebuah niat baik. Karena ini bukanlah gerakan
besar, maka kita tidak punya hak untuk berharap lebih. Indonesia Mengajar sudah
menginspirasi Universitas lain dengan membentuk UI Mengajar, Solo Mengajar, UIN
Suska Mengajar, walaupun masih dalam lingkup daerah sekitar. Mengirimkan
sarjana muda ke daerah 3T akan membuka mata mereka bahwa ada yang harus
digerakkan, ada yang harus diubah. Dampaknya mungkin baru akan terlihat sepuluh
atau duapuluh tahun mendatang. Tidak ada kata tidak mungkin untuk memajukan
pendidikan. Selalu ada jalan untuk kebaikan.
Pada tahun ini, Kemdikbud baru saja
mengirimkan 798 guru angkatan pertama Program GGD (Guru Garis Depan). Berbeda
dengan SM3T atau Indonesia Mengajar, GGD merupakan komitmen pemerintah berupa
penemptan guru dalam waktu jangka panjang. Keistimewaannya adalah, guru-guru
ini langsung diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kebanyakan dari
mereka adalah lulusan SM3T.
Kedepannya, diharapkan
gerakan-gerakan ini dapat berkembang lebih terorganisir. Pemerintah juga
sebaiknya mampu merangkul gerakan-gerakan yang bersifat independen ini agar
tercipta kerjasama yang apik. Penyebaran para sarjana nantinya juga semakin
meluas dan fokus. Pada akhirnya, pengiriman sarjana ini bukan hanya untuk
sementara, tapi ada yang tinggal dan menetap untuk waktu yang cukup lama demi
sebuah pengabdian.
Penulis percaya bahwa apa yang
paling dibutuhkan anak-anak di darah 3T adalah Inspirator,Creator, and Motivator from Great Human. Para sarjana ini mungkin tidak mampu menjadikan
anak-anak itu secerdas Einstein dalam waktu satu tahun, tapi mereka mampu
meyakinkan anak-anak itu bahwa mereka tidak sendiri di negeri ini. Bahwa ada
yang peduli kekurangan mereka, ada yang percaya mereka punya kemampuan. Tentu
spirit dan harapan yang diberikan bukanlah kosong belaka, harus ada feedback. Misalnya, keadaan sekolah yang
tidak layak, bisa disampaikan langsung kepada dinas terkait. Tidak berhenti di
situ, kita harus tetap memantau segala pergerakan yang dilakukan pemerintah.
Karena kita semua bertanggungjawab atas pendidikan anak Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar