Selasa, 01 Desember 2015

Spirit Baru Sarjana (Guru) Muda



Guru merupakan fasilitas terpenting dalam lingkup pendidikan. Ketiadaan guru akan menjadi tembok penghalang bagi ilmu pengetahuan untuk sampai ke manusia. Jika sebuah majelis pendidikan kekurangan guru maka proses transfer ilmu yang diperlukan masyarakat luas itu akan berjalan tidak sempurna. Ini merupakan dampak dari ketiadaan guru. Apa penyebabnya? “Imcomplete Distribution”. Data Pemetaan guru dari BPSMP-PMP Kemendikbud (2011) melampirkan bahwa penyebaran guru masih sangat sentralistik. Di perkotaan,
jumlah guru berkelebihan hingga 52 persen, di pedesaan berkelebihan hingga 68 persen, sedang di daerah 3T terjadi kekurangan guru hingga 66 persen. Mengutip kalimat Nelson Mandela, “Education is the most powerfull weapon which you can use to change the world”, maka negara ini harus segera berbenah, mengganti formasi atau merevolusi metode pendistribusian guru ke semua daerah, khususnya daerah 3T.
            Beberapa tahun belakangan ini, gerakan peduli pendidikan mulai bangkit kembali. Gerakan yang membooming jelas Gerakan Indonesia Mengajar yang didirikan Mantan Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan. Gerakan ini berdiri pada tahun 2009 dan sudah menginjak angkatan XI. Jumlah pendaftar pada angkatan XI mencapai 10.00 Sarjana.
Tentu ini bukan hal yang biasa, bagaimana orang-orang bisa meninggalkan pekerjaan mereka yang mungkin sudah menjanjikan untuk masa depan mau ikut turun tangan demi pendidikan. Jika dibandingkan dengan Sarjana yang lulus tiap tahunnya mungkin tidak seberapa, tapi cukup untuk menggerakkan. Mengajar di pelosok negeri tentu bukan hal yang mudah. Seorang pengajar harus tahu cara bertahan dalam keterbatasan. Menumbuhkan impian, menjadi inspirasi dan jembatan bagi anak-anak yang mungkin masih tabu berbicara cita-cita. Indonesia mengajar mengajak kita untuk sama-sama bergerak, untuk sama-sama bertanggugjawab demi menunaikan cita-cita bangsa.
            Gerakan lainnya dimonitori langsung oleh dinas pendidikan yaitu SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal). Program ini dimulai pada tahun 2011 dan sudah menginjak angkatan V. Program ini tentu memiliki keuntungan lebih dibandingkan Indonesia Mengajar. Selain langsung digerakkan oleh pemerintah juga punya bonus, seperti kemudahan untuk menjadi PNS setelah program selesai. Selain itu aksesnya lebih mudah karena bekerjasama langsung dengan universitas-universitas yang berada di bawah naungan Dikti. Tidak perlu jauh-jauh keluar kota untuk ikut tes dan sebagainya.
            Daerah-daerah yang dipilih tentu mereka yang paling membutuhkan. Indonesia Mengajar memilih 17 Kabupaten dri 16 provinsi sebagai lokasi penempatan pengajar muda. Beberapa diantaranya dari Kab. Aceh Utara (Nanggroe Aceh Darussalam), Kab. Bengkalis (Riau), Pulau Bawean, Kab. Gresik (Jawa Timur), Kab. Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Kab. Majene (Sulawesi Barat), Kab. Bima (NTT), hingga Kab. Fakfak (Papua Barat). Sementara SM3T cakupannya juga cukup luas. Setiap Universitas punya daerah penempatan masing-masing. Beberapa di antaranya Kab. Waropen dan Kab. Biak (Papua) Teluk Bintuni (Papua Barat), Kab. Aceh Singkil (Aceh), Kab. Sanggau (Kalimantan Barat), Kab. Ende (NTT), Kab. Sitaro (Manado), Kepulauan Aru (Maluku) dan daerah lainnya.
            Dua gerakan pendidikan saja sudah berhasil menembus banyak daerah-daerah 3T, bisa dibayangkan jika semakin banyak gerakan yang melakukan hal yang sama. Karena dua gerakan  saja belum mampu menampung spirit sarjana muda kita. Tentu masih banyak lagi daerah 3T yang belum terjamah oleh semangat dan cita-cita.
Spirit sarjana muda seperti ini tentu sayang jika diabaikan. Bayangkan jika seluruh sarjana muda diawal kelulusannya dihabiskan untuk menginspirasi anak-anak di daerah 3T tersebut. Kita tahu di beberapa negara ada wajib militer, bisa saja di Indonesia kita adakan wajib mengajar. Di Indonesia Mengajar, mereka yang mendaftar bukan hanya dari lulusan Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP), tapi juga dari cabang ilmu lainya, seperti Ilmu Komunikasi, Ekonomi, Kesehatan dan sebagainya. Fakta ini menunjukkan bahwa untuk menjadi “Teacher as Inspirator” tidak harus berasal dari lulusan guru. Berbeda dengan SM3T, lulusan FKIP menjadi syarat wajib untuk mengikuti program ini.
            Lalu, apakah gerakan semacam ini efektif? Tentu! In temporary, tentu tidak ada yang sia-sia dari sebuah niat baik. Karena ini bukanlah gerakan besar, maka kita tidak punya hak untuk berharap lebih. Indonesia Mengajar sudah menginspirasi Universitas lain dengan membentuk UI Mengajar, Solo Mengajar, UIN Suska Mengajar, walaupun masih dalam lingkup daerah sekitar. Mengirimkan sarjana muda ke daerah 3T akan membuka mata mereka bahwa ada yang harus digerakkan, ada yang harus diubah. Dampaknya mungkin baru akan terlihat sepuluh atau duapuluh tahun mendatang. Tidak ada kata tidak mungkin untuk memajukan pendidikan. Selalu ada jalan untuk kebaikan.
            Pada tahun ini, Kemdikbud baru saja mengirimkan 798 guru angkatan pertama Program GGD (Guru Garis Depan). Berbeda dengan SM3T atau Indonesia Mengajar, GGD merupakan komitmen pemerintah berupa penemptan guru dalam waktu jangka panjang. Keistimewaannya adalah, guru-guru ini langsung diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kebanyakan dari mereka adalah lulusan SM3T.
            Kedepannya, diharapkan gerakan-gerakan ini dapat berkembang lebih terorganisir. Pemerintah juga sebaiknya mampu merangkul gerakan-gerakan yang bersifat independen ini agar tercipta kerjasama yang apik. Penyebaran para sarjana nantinya juga semakin meluas dan fokus. Pada akhirnya, pengiriman sarjana ini bukan hanya untuk sementara, tapi ada yang tinggal dan menetap untuk waktu yang cukup lama demi sebuah pengabdian.
            Penulis percaya bahwa apa yang paling dibutuhkan anak-anak di darah 3T adalah Inspirator,Creator, and Motivator from Great Human. Para sarjana ini mungkin tidak mampu menjadikan anak-anak itu secerdas Einstein dalam waktu satu tahun, tapi mereka mampu meyakinkan anak-anak itu bahwa mereka tidak sendiri di negeri ini. Bahwa ada yang peduli kekurangan mereka, ada yang percaya mereka punya kemampuan. Tentu spirit dan harapan yang diberikan bukanlah kosong belaka, harus ada feedback. Misalnya, keadaan sekolah yang tidak layak, bisa disampaikan langsung kepada dinas terkait. Tidak berhenti di situ, kita harus tetap memantau segala pergerakan yang dilakukan pemerintah. Karena kita semua bertanggungjawab atas pendidikan anak Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar