Kamis, 28 Januari 2016

Rahasia Suara

           Malam ini kulangkahkan lagi kaki ke bangunan ini. Entahlah, masih ada yang mengerumun di pikiranku. Toh memang aku belum mendapatkan jawaban apa-apa.
Gelap. Pandanganku hanya dibantu oleh cahaya senter telepon genggam dan beberapa ingatan yang masih tersimpan saat beberapa kali aku ke sini.

 “Mik, kamu cari apa sih? Ini udah kali ke tiga loh kita ke rumah ini?” Reza menggerakkan bibirnya perlahan sambil terus menjaga hentakan langkahnya yang semakin pelan. Sesekali ditempelkannya kedua tangannya ke lenganku dan berteriak pelan, “ Za, pelan dikit!”
Ini masuk bulan ke-duaku melaksanakan KKN di Desa Adem Sari. Desa yang terletak jauh di pelosok daerah ini benar-benar berbeda 180 derajat dengan kota tempat aku tinggal. Desa Adem Sari, sebulan lalu masih begitu tenang sesuai dengan namanya. Namun, seminggu terakhir ini, keadaannya berubah. Kehebohan terjadi di sana-sini dan semua berasal dari rumah yang kumasuki malam ini. Rumah tua ini adalah rumah yang paling bagus di kampung ini, minimalis juga tidak begitu besar.
“Tadikan udah aku bilang kalo takut ga usah ikut, Za. Masih juga ngintilin aku.” Mataku masih menelisik tiap sudut rumah tua ini. Kosong, seperti yang lalu-lalu, hanya sebuah kursi tua menghadap jendela.
“Ya, aku juga penasaran, Mik. Inikan menyangkut ketentraman KKN kita.” Prakk! Terdengar suara dentuman pintu dari arah belakang. Reza siap siaga mencengkram lenganku. Mata kami saling beradu, terlihat Reza mulai mengerutkan matanya. Kugerakkan bola mataku ke arah dentuman keras tadi lalu kembali menatap Reza. Ia menggeleng dan kubalas cepat dengan anggukan. Baru satu langkah, Reza kembali menarik lenganku, “Za, ini tengah malam. Malam jum… “ Prak! Prak! Lagi suara dentuman datang dari arah yang sama. Tak kuhiraukan permintaan Reza, terus saja kudekati sumber suara itu. Terlihat dua bayangan di dinding yang terkena cahaya senterku ditambah suara bisik-bisik.
“Mik, itu bayangan apaan? Setan ya? Mik, cepet balik deh. Perasaan aku ga enak.” Cengkraman Reza semakin kuat, ditunduk-tundukkannya kepalanya, dia tak berubah sama sekali, masih saja penakut. Lagi tak kuhiraukan Reza, langkahku semakin mantap, bukan aku tak takut tapi entah rasanya ini tidak akan sehoror di film-film The Conjuring atau Scream dan sebagainya.
Semakin dekat dan kulihat bayangan itu tidak bergerak banyak. Apa itu ? Benar setan? Atau mungkin manusia? Tepat di balik pintu ke arah dapur. Sekarang aku dan Reza sudah berada di depan pintu, kulepaskan cengkraman Reza yang melemah, kuberi kode Reza untuk menunggu. Segera aku melongoh ke balik pintu, “Aaaaaaakkkkkkkkkkk!!!” teriak dua gadis dibalik pintu. Mereka menutup wajah dengan kedua tangannya. Sesekali mengintip dan yah aku kenal mereka. Tentu saja.
“Dina? Irma? Kalian ngapain di sini?” Belum sempat mereka menjawab, Reza langsung menyosor, “Jangan-jangan kalian ya yang buat keributan di rumah ini?”. Dina dan Irma serentak meletakkan jari di mulut mereka, “Ssssttt!! Bukaaann!!” kata Dina, “Iyaa… kami ga tahu apa-apa, a a ku cu cu maa ikutin Dina aja. Takut d d dia kenapa-napa,” lanjut Irma yang sepertinya memang ga tahu apa-apa.
Karena tidak menghasilkan apa-apa, kami berempat pulang ke posko KKN yang letaknya cukup jauh dari rumah. Karena aku adalah KorDes (Koordinator Desa) untuk kelompokku, maka aku lebih bebas bergerak. Toh aku juga lelaki, jadi ya santai.

“Jadi kalian juga mau cari tahu asal keributan di rumah itu?” tanyaku pada Dina dan Irma. Kami melanjutkan diskusi di ruang tengah posko. Hari sudah pukul 12 malam. Kampung kembali sepi, hanya ada suara jangkrik, kodok dan suara burung yang aku tak tahu jenisnya.
“Ya gitu,” jawab Dina singkat. Si Nona super jutek di kelompokku.
“Eh Han, kebangun gara-gara kita ya?” Irma melihat Hani, salah satu anggota kelompok keluar dengan langkah juntai dari kamar.
“Aduh, Han sorry ya. Kita ribut banget kayanya,” lanjut Reza.
Hani tak menggubris. Ia berjalan ke arah pintu dan ke luar. “Mau kemana Han? Kamu ngigau ya?” tegur Reza yang kemudian menatap kami satu persatu.
Tanpa berpikir panjang kami langsung mengikuti Hani, tapi hani hilang di kerumunan malam. Tentu kami tidak langsung panik, kami berusaha mencari Hani di sekeliling. Nihil. Kemana Hani ? Apa sebenarnya yang terjadi. Reza, Dina dan Irma masih sibuk mencari. Kuingatkan jangan sampai membuat keributan.
Tidak lama, kehebohan datang sendiri. Tepat pukul 00.00 malam, rumah itu mengeluarkan suara-suaranya lagi, kali ini suara Gamelan. Sial, ini asli bikin adrenalinku terpacu. Kami saling beradu pandang. Reza dan Irma jelas memunculkan mimik ketakutan. Lalu Dina? Ia tersenyum lebar ditambah bola mata yang hampir mau ke luar, seperti baru dapat mainan baru. Aku mengerti sekali senyumnya. Dina melangkahkan kakinya lebih dulu ke arah rumah itu, akupun mengikutinya, di belakang Reza dan Irma pun terpaksa ikut.
Di perjalanan, berbagai opini terus muncul tentang kejadian ini. Jangan-jangan Hani? Atau Hani diculik makhluk halus?

“Pak Kades?” Kulihat Pak Kades sedang mengotak-atik sesuatu.
“Jadi bapak yang…” Reza menunjuk Pak Kades dengan mulut menganga, dahi mengerut dan mata setengah melotot.
Pak Kades memandang benda yang diutak-aiknya sedari tadi. “Bu… bukan. Saya ga ngerti ini cara matiinnya gimana? Ga sengaja saya pencet-pencet tadi waktu keliling rumah.”
Tanpa aba-aba, Dina langsung mendekati Pak Kades. “Coba  saya lihat, Pak?” disodorkannya benda itu ke Dina. “Hahahahahahah… Kita dikerjain guys!” Tawa Dina memecah keheningan. Kami pun mendekati Dina dan ternyata sebuah MP3 Player klasik.
“Gilak! Ini siapa yang punya kerjaan? Gilaak!” makian keluar dari mulut Reza. Hilanglah sudah parnonya selama seminggu lebih ini. “Ini siapa yang punya sih? Asli kalo ketemu orangnya  bakal aku tonjok!” lanjutnya dengan tangan dikepal-kepal siap melancarkan serangan.
“Kalo yang punya kunti, kamu masih berani Za?” goda Dina. Reza langsung tak berkutik. Hahah.

“Itu… p p punya a a ku.” Semua mata menuju ke asal suara si pelaku. Tatapan tidak percaya, ragu, kesal semua bercampur aduk. Bayangkan saja.
“Kamu ga seriuskan? Apa untungnya buat kamu, Ir?” Dina dengan senyum mirisnya menghampiri Irma.
“A a ku bosan, Din.” Mata kami semakin membelalak. Pak Kades yang dari tadi tenang, sekarang ikut-ikutan melotot. “Udah dua bulan kita KKN, ga ada yang menarik. Warga ramah, proker mulus dijalanin. Terus apa? Yang kita lakuin cuma makan, tidur, makan, tidur. Bosan.” Irma dengan tenang bahkan tanpa rasa bersalah memberi penjelasan. Senyum tipis menyimpul di wajahnya. Mengerikan.

Beberapa lama tidak ada yang bicara, semua terdiam dengan pernyataan Irma. Gadis baik yang kukenal selama KKN ini benar-benar menabrak logikaku. Wajahya yang polos dengan rambut panjang hitamnya benar-benar jauh dari perilaku menyimpang yang barusan ia lakukan.

Efek dari perilaku menyimpang tersebut Irma dan Hani dikeluarkan dari kegiatan KKN, lebih tepatnya gagal. Kenapa Hani juga? Hani adalah kaki tangan Irma. Hani yang selama ini menyalakan MP3 player itu. Kenapa Hani dan bukan Irma sendiri? Irma phobia rumah kosong. Entahlah bagaimana Irma membujuk Hani.
Tak ada yang tahu.

Sisa-sisa masa KKN kembali tenang dan adem. Kami meminta Pak Kades untuk menutupi masalah ini dan memberikan alasan lain ke warga tentang kepulangan Irma dan Hani. Syukur beliau mau mengerti.

Ah, aku ingin pulang segera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar