Pagi ini masih ada sisa pesta semalam. Ada sampah, baik di tanah ini juga di langit. Aku suka kembang api. Tapi semalam aku memilih untuk tetap fokus pada muhasabahku sendiri. Bagaimana timbangan pahala dan dosaku sekarang? Apakah sudah ada kemajuan? Disampingku, ada adik perempuanku yang masih nyenyak bergumul dengan mimpi. Entah jam berapa ia pulang setelah merayakan tahun baru dengan teman-temannya. Aku membiarkannya saja, toh kami punya keyakinan yang berbeda.
Aku dilahirkan dari keluarga dengan dua keimanan yang berbeda. Ibuku Nasrani dan ayahku seorang Muslim. Entah bagaimana pembagiannya, yang jelas sejak lahir aku hanya boleh mengikuti cara ibadah ayah saja. Begitupula Maria adikku, ia hanya mengikuti ibadah ibu.
"Kak, beneran ga mau ikut tahun baruan? Kembang apinya gede terus cantik-cantik loh." Maria merapikan lipstik di sudut bibir mungilnya terus membujukku ikut merayakan tahun baru dengannya.
Aku menyimpulkan senyum lalu terus melanjutkan tilawahku. Ah, kembang api. Pasti cantik. Hanya sampai di situ saja anganku tentang kembang api. Dulu, aku masih merayakan tahun baru bersama keluargaku. Tapi, setelah ayah meninggal, aku mulai sering ikut pengajian di kampus. Aku hanya takut imanku goyah karena tak ada lagi yang mengingatkanku beribadah. Dan dari pengajian itulah, aku lebih banyak tahu dan mulai banyak berpikir.
"Semenjak ayah pergi, kenapa kakak sepertinya menjauh sih dari aku dan ibu?" Maria membalikkan badannya ke arahku, menatapku dengan penuh rasa penasaran.
Kututup Al-Quran, segera menghadapkan badanku ke arahnya. Kutatap matanya dalam,"Maria, menurutmu sanggupkah kakak menjauh dari perempuan yang telah melahirkan kakak? Menjauh dari adik tersayang kakak? Itu hanya perasaanmu saja." senyumku melebar memberinya keyakinan.
"Apa karena kita berbeda keyakinan?" Maria lantas menatapku lebih dalam lagi, seakan menunggu pembenaran dari pemikirannya selama ini.
Dahiku mengernyit, kulangkahkan kakiku ke arahnya. Kuraih pundaknya yang kecil dan segera menyenyajarkan mata kami.
"Maria, kita memang berbeda keyakinan. Dari dulu, kamu ingatkan ayah selalu bilang kalau kita punya cara masing-masing dalam menghadapi sesuatu. Kita punya jalan yang berbeda. Ayah mengingatkan kita untuk menghargai cara-cara itu." Maria terlihat fokus mendengarkan penjelasanku. "Ibu juga bilang, kakak dan kamu berhak menolak apa yang tidak sesuai dengan cara kita itu. Kenapa? Karena kita hidup menjunjung tinggi toleransi. Kakak tidak melarang kamu ngerayain tahun baru karna itu keyakinan kamu. Dan adalah keyakinan kakak untuk tidak lagi merayakan tahun baru" lanjutku dan mulai melepaskan genggaman tanganku di pundaknya.
Lama kali saling menatap. Ada panas di pelupuk mata, seperti ada genangan yang muncul. Ah, sering kutanyakan pada Allah, kenapa kami harus berbeda? Tapi aku yakin akan ada jalan baik di akhirnya, akan ada hikmah.
Maria berdiri dari kursi riasnya, mengambil tas pink favoritnya. "Ya sudah, aku pergi dulu ya, Kak Hani." Maria melangkahkan kakinya keluar menuju pintu kamar. Aku masih menatap kepergiannya. "Cuup!" tiba- tiba ia mendaratkan sebuah ciuman di dahiku, lalu berbisik, "Aku sayang Kak Hani, semoga Tuhan memberkati"
Aku dilahirkan dari keluarga dengan dua keimanan yang berbeda. Ibuku Nasrani dan ayahku seorang Muslim. Entah bagaimana pembagiannya, yang jelas sejak lahir aku hanya boleh mengikuti cara ibadah ayah saja. Begitupula Maria adikku, ia hanya mengikuti ibadah ibu.
"Kak, beneran ga mau ikut tahun baruan? Kembang apinya gede terus cantik-cantik loh." Maria merapikan lipstik di sudut bibir mungilnya terus membujukku ikut merayakan tahun baru dengannya.
Aku menyimpulkan senyum lalu terus melanjutkan tilawahku. Ah, kembang api. Pasti cantik. Hanya sampai di situ saja anganku tentang kembang api. Dulu, aku masih merayakan tahun baru bersama keluargaku. Tapi, setelah ayah meninggal, aku mulai sering ikut pengajian di kampus. Aku hanya takut imanku goyah karena tak ada lagi yang mengingatkanku beribadah. Dan dari pengajian itulah, aku lebih banyak tahu dan mulai banyak berpikir.
"Semenjak ayah pergi, kenapa kakak sepertinya menjauh sih dari aku dan ibu?" Maria membalikkan badannya ke arahku, menatapku dengan penuh rasa penasaran.
Kututup Al-Quran, segera menghadapkan badanku ke arahnya. Kutatap matanya dalam,"Maria, menurutmu sanggupkah kakak menjauh dari perempuan yang telah melahirkan kakak? Menjauh dari adik tersayang kakak? Itu hanya perasaanmu saja." senyumku melebar memberinya keyakinan.
"Apa karena kita berbeda keyakinan?" Maria lantas menatapku lebih dalam lagi, seakan menunggu pembenaran dari pemikirannya selama ini.
Dahiku mengernyit, kulangkahkan kakiku ke arahnya. Kuraih pundaknya yang kecil dan segera menyenyajarkan mata kami.
"Maria, kita memang berbeda keyakinan. Dari dulu, kamu ingatkan ayah selalu bilang kalau kita punya cara masing-masing dalam menghadapi sesuatu. Kita punya jalan yang berbeda. Ayah mengingatkan kita untuk menghargai cara-cara itu." Maria terlihat fokus mendengarkan penjelasanku. "Ibu juga bilang, kakak dan kamu berhak menolak apa yang tidak sesuai dengan cara kita itu. Kenapa? Karena kita hidup menjunjung tinggi toleransi. Kakak tidak melarang kamu ngerayain tahun baru karna itu keyakinan kamu. Dan adalah keyakinan kakak untuk tidak lagi merayakan tahun baru" lanjutku dan mulai melepaskan genggaman tanganku di pundaknya.
Lama kali saling menatap. Ada panas di pelupuk mata, seperti ada genangan yang muncul. Ah, sering kutanyakan pada Allah, kenapa kami harus berbeda? Tapi aku yakin akan ada jalan baik di akhirnya, akan ada hikmah.
Maria berdiri dari kursi riasnya, mengambil tas pink favoritnya. "Ya sudah, aku pergi dulu ya, Kak Hani." Maria melangkahkan kakinya keluar menuju pintu kamar. Aku masih menatap kepergiannya. "Cuup!" tiba- tiba ia mendaratkan sebuah ciuman di dahiku, lalu berbisik, "Aku sayang Kak Hani, semoga Tuhan memberkati"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar