Dua tahun sudah aku tak pulang ke rumah. Ada semilir rindu namun duka masih terasa. Rumah beserta isinya hanya menjadi pompa luka lama.
Ibu terus bermenung di bangku tua peninggalan ayah itu. Ia tak banyak bicara, hanya sesekali seperti bersandar pada sesuatu. Mungkin ayah sedang mendatangi ibu. Lain waktu ibu bersenandung dendang lawas kesukaannya. Tanpa ekspresi, namun pipinya basah begitu saja.
Jelas ayah yang salah telah mendustai ibu. Bermain dengan wanita lain di bangku istimewa itu. Bangku yang bertulis cinta selama hampir 25 tahun. Ibu tak kuasa cintanya dibagi, langsung mendorong ayah ke tanah. Batu-batu tamanlah yang menerima benturan kepala itu dengan keras. Apa daya, nasi telah jadi bubur, nyawa tak bisa dibawa kembali.
Mungkin penyesalanlah yang ibu rasakan tiap hari. Seperti sedang menunggu penerimaan maaf di bangku penuh elegi itu.
Kini rumah itu telah kosong. Bangku itu kubiarkan lapuk di makan waktu, walau ingatan selalu terpatri dengan kuatnya.
Bagus
BalasHapusBoleh kasih usual " bersenandung dendang lawas.agak aneh didengar. Mungkin bisa memakai kata bersenandung tembang lawas.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusDuuuh.. ini cerpen sungguh mini, tapi ceritanya bikin mengkerut dahi.. keren mbak.
BalasHapusBagus Mba anis
BalasHapusBagus Mba anis
BalasHapussingkat tp bagus,
BalasHapussingkat tp bagus,
BalasHapusfiksi mini yang dalam, Mbak. :)
BalasHapuschandratatian.blogspot.co.id
Kereeen
BalasHapus