Selasa, 29 Maret 2016

Elegi Bangku

Dua tahun sudah aku tak pulang ke rumah. Ada semilir rindu namun duka masih terasa. Rumah beserta isinya hanya menjadi pompa luka lama.

Ibu terus bermenung di bangku tua peninggalan ayah itu. Ia tak banyak bicara, hanya sesekali seperti bersandar pada sesuatu. Mungkin ayah sedang mendatangi ibu. Lain waktu ibu bersenandung dendang lawas kesukaannya. Tanpa ekspresi, namun pipinya basah begitu saja.

Jelas ayah yang salah telah mendustai ibu. Bermain dengan wanita lain di bangku istimewa itu. Bangku yang bertulis cinta selama hampir 25 tahun. Ibu tak kuasa cintanya dibagi, langsung mendorong ayah ke tanah. Batu-batu tamanlah yang menerima benturan kepala itu dengan keras. Apa daya, nasi telah jadi bubur, nyawa tak bisa dibawa kembali.

Mungkin penyesalanlah yang ibu rasakan tiap hari. Seperti sedang menunggu penerimaan maaf di bangku penuh elegi itu.

Kini rumah itu telah kosong. Bangku itu kubiarkan lapuk di makan waktu, walau ingatan selalu terpatri dengan kuatnya.

9 komentar: