Rabu, 02 Maret 2016

Seluruh Jiwa

Hari pun berlalu, ayah masih menempel pada sisa kenangan yang tertinggal di dempet lusuhnya. Matanya terus saja bergetar hebat menahan luapan sungai yang dipompa kegamangan. Ditatapnya dalam-dalam wajah jelita yang terpotret sekian tahun silam. Bibirnya komat-kamit mengucap entah, sebuah nama barangkali atau doa.

Ayah, ia seperti pohon kehilangan akar. Menunggu waktu menjadi usang dan mati. Wajar saja, wanita jelita itu yang telah berada di sisinya selama setengah abad ini. Wanita yang nyaris mati melahirkanku dan keempat saudaraku yang lain.

Diusianya yang sangat renta ini, ayah gampang sekali lelah. Tubuhnya yang makin ringkih ditambah beban rindu yang yang terus memenuhi hatinya membuatnya memilih berbaring pada sisi kanan kasur, tempat wanita jelita itu biasa terlelap.

"Ibumu adalah jalan ayah menuju surga. Ibumu yang ayah ingin temukan di sana kelak. Kau tau kan ayah tak bisa lama jauh dari ibu. Seluruh jiwa ayah ada pada ibu. Ayah tak bisa. Ini sudah terlalu lama," ucapnya dengan tatapan yang membuatku merinding. Pecahlah bendungan di pelupuk, kupeluk ayah erat-erat. Beradulah isak para perindu malam itu.

Hari ini terpaksa kutabur lagi bunga di atas nisan yang baru. Mengikhlaskan dua jiwa saling bertemu untuk saling melengkapi.
Sampai jumpa, Ayah, Ibu.

14 komentar: